Pengobatan dengan cara oksigenasi membran ekstrakorporeal atau dikenal dengan istilah ECMO disebut bisa mengurangi risiko kematian akibat Covid-19, terutama pada pasien yang bergejala cukup berat.
Berdasarkan studi peneliti Universitas Vanderbilt, seperti dikutip dari CNN, risiko kematian berkurang hingga setengahnya.
Meski begitu tidak semua pasien bisa menerima terapi ECMO, karena pada puncak pandemi beberapa waktu lalu minim tempat tidur di rumah sakit. Padahal ada hampir 90 persen pasien yang memenuhi kriteria ketat Vanderbilt untuk menerima ECMO, tetapi tidak dapat dirawat, hingga mereka meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya pikir (hasil) ini sangat kuat bagi saya, karena, Anda tahu, untuk pertama kalinya, kami benar-benar melihat yang terjadi pada pasien ini, ketika mereka tidak menerima terapi ini," kata peneliti utama Whitney Gannon yang juga menjabat sebagai direktur kualitas dan pendidikan untuk program ECMO di Vanderbilt dilansir dari CNN.
Gannon mengatakan ketika gelombang Delta mencapai titik terburuknya, dia bisa menerima 10 hingga 15 panggilan dalam sehari terkait pasien yang membutuhkan ECMO.
Pada kapasitas maksimum, Vanderbilt memiliki ruang untuk tujuh pasien ECMO sekaligus, sehingga banyak dari pasien ini ditolak.
ECMO bekerja dengan menggunakan tabung dan pompa untuk mengoksidasi darah di luar tubuh dan kemudian mengedarkannya lagi. Terapi ini mengambil alih jantung dan paru-paru, memberi mereka waktu untuk pulih.
Sebelum pandemi, termasuk sulit mempelajari efektivitas pengobatan ECMO.
Meski begitu, sekelompok besar peneliti internasional mencoba studi acak ECMO pada 2018 lalu. Mereka membagi 249 pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut --diagnosis yang sama yang dihadapi banyak pasien Covid-19-- menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama mendapat ECMO, sedangkan kelompok kedua diberi ventilasi mekanik. Agar tidak ada yang ditolak perawatannya, para peneliti mengizinkan pasien yang pertama kali ditugaskan menggunakan ventilator untuk beralih ke ECMO jika perawatan mereka berhenti bekerja.
Studi yang dipublikasikan di The New England Journal of Medicine, tidak menemukan perbedaan hasil untuk orang yang diberikan ventilator atau ECMO, sehingga dokter bertanya-tanya apakah pasien mereka benar-benar lebih baik dengan terapi yang lebih agresif dan mahal.
Di Vanderbilt, dokter menyadari bahwa mereka tidak perlu mengacak pasien untuk mempelajari ECMO. Pandemi membantu penelitian mereka.
ECMO sendiri tidak hanya membutuhkan mesin khusus, perlu orang yang memang benar-benar memahami cara kerja alat tersebut. Setiap pasien ECMO membutuhkan perawat khusus, serta tim terapis pernapasan dan dokter untuk memantau terapi.
(tst/vws)