Kisah lainnya mengatakan bahwa Mbah Bungkul bahkan sudah ada dan telah memeluk Islam sejak kejayaan Majapahit. Hal ini merujuk pada Prasasti Trowulan atau Canggu yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk.
Dalam prasasti itu diriwayatkan beberapa desa yang mendapat keistimewaan bebas pajak, mendapat akses ke kerajaan, serta bebas melaksanakan ibadah.
"Desa-desa itu terletak di daerah aliran sungai besar Jawa Timur, seperti Brantas dan Bengawan Solo," jelas Adrian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Desa-desa yang memiliki keistimewaan dari Majapahit ini bahkan melaksanakan ibadah lima waktu yang memang berkaitan dengan agama Islam. Hal itu mengindikasikan bahwa Islam sudah ada di daerah Bungkul sejak masa kejayaan Majapahit pada kekuasaan Hayam Wuruk.
"Ki Ageng Bungkul sebagai penguasa punya peran istimewa sehingga bisa mendapatkan privilege pada masa kejayaan majapahit," jelas Adrian.
Pada masa itu, letak geografis Bungkul juga cukup strategis. Wilayah ini juga dekat dengan aliran sungai yang tentu saja memberi berbagai keuntungan.
Dari sisi ekonomi, sebelum dibangunnya jalur darat oleh Daendels, sungai merupakan kawasan strategis ekonomi karena menjadi jalur utama aktivitas perdagangan.
"Secara religi, daerah Bungkul sangat strategis dalam persebaran ajaran islam, hal itu bisa dilihat dari keberadaan legenda yang menyebutnya sebagai mertua Sunan Giri, serta adanya makam Adipati dan Demang dalam kompleks makam Mbah Bungkul tersebut," jelasnya.
(tst/asr)