Jakarta, CNN Indonesia --
"Dikit-dikit nyentuh, dikit-dikit pegang sana, pegang sini."
Dahayu (35, bukan nama sebenarnya) menggerutu karena kebiasaan suami yang kerap seenak udel menyentuh bagian-bagian sensitif tubuhnya. Sentuhan itu sering kali muncul tak kenal waktu.
Hampir dua tahun menikah, Dahayu merasa menjadi objek seks sang suami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mulanya adalah cerita bahagia. Impian rumah tangga yang mempesona dan bergairah itu muncul pada awal 2020 lalu saat Dahayu dan suaminya mengucap janji suci pernikahan.
Gairah itu mulanya menggebu-gebu. Betapa tidak, selain sudah haqqul yakin pada pilihannya, Dahayu juga punya ketertarikan fisik yang kuat pada suaminya.
Rambut acak-acakan berponi, kacamata bingkai tebal, hingga sikap centil dan petakilan suami kerap bikin Dahayu menggebu-gebu.
"Dulu, tuh, kalau lihat suami, rasanya gemas banget. Kayaknya dulu, tuh, kami saling menginginkan satu sama lain," ujar Dahayu bercerita pada CNNIndonesia.com di Bandung, beberapa waktu lalu. Wajahnya berseri, pipinya memerah malu mengingat masa-masa penuh gelora itu.
Tapi, masa-masa bergelora itu sayangnya cuma bertahan beberapa bulan. Rasa menggebu-gebu itu berubah menjadi sesuatu yang dirasa Dahayu berlebihan, bahkan membuatnya takut. Api panas gairah itu seolah selalu berkobar kencang di wajah suami saat memandanganya.
Dahayu perlahan ketakutan.
 Ilustrasi. Sikap suami yang memperlakukan istri layaknya objek seks membuat Dahayu ketakutan. (Istockphoto/ Bymuratdeniz) |
Hampir setiap hari suami Dahayu minta 'jatah'. Tak peduli Dahayu sedang kelelahan setelah kerja, atau kondisi tubuhnya yang sedang tidak fit.
"Saya kaget, sih. Lama-lama rasanya takut, kok kayak gitu banget?"
Padahal, saat keduanya masih berpacaran, pria itu memperlakukan Dahayu dengan sangat baik. Jangankan berlaku kasar, ingin mencium bibir Dahayu yang mungil saja, terlebih dahulu si pria meminta izin.
Namun, sikap sopan itu berubah menjadi ganas setelah sekitar tiga bulan pernikahan. Dahayu tak tahu apa yang membuat suaminya seperti itu.
"Ya, mungkin itu yang dibilang orang-orang, sifat seseorang saat jadi pacar dan saat jadi suami bakal beda jauh," ujar Dahayu.
Sang suami kerap menyentuh bagian-bagian sensitif tubuh Dahayu seenak udel. Semua itu dilakukan suaminya secara tiba-tiba dan tanpa mengenal waktu serta kondisi.
Tindakan-tindakan tak senonoh itu dilakukan kapan saja. Saat Dahayu sedang melipat baju, membaca buku, memasak, atau bahkan saat sedang menyelesaikan pekerjaan kantornya yang tersisa.
"Kayaknya dia, tuh, selalu nafsu setiap ngelihat saya. Menyeramkan," kata Dahayu. Wajahnya meringis ngeri, dahinya berkerut hingga kedua alis tampak menyatu.
Dahayu kesal bukan main. Di mata Dahayu, wajah suaminya yang menggemaskan berubah menjadi wajah pria dengan dua tanduk iblis di kepalanya yang tersenyum menyeringai.
"Jangan mentang-mentang udah jadi suami terus bisa sentuh badan saya sana sini dengan bebas tak kenal waktu," kata Dahayu dengan nada tinggi.
Pernah juga suatu hari suami mengajak berhubungan badan saat Dahayu sedang sakit. Sambil merasakan ngilu-ngilu di tubuhnya, Dahayu menolak ajakan tersebut. Suami marah hingga berujung sebuah pertengkaran.
"Gila, ya, masak saya lagi sakit juga harus ngelayanin dia," ujar Dahayu marah. Tangan kanannya sedikit menggebrak meja.
Yang jadi masalah, hasrat suami yang seenaknya itu dirasa tak sebanding dengan apa yang didapat Dahayu sebagai seorang istri.
Perhatian? Ah, sedikit sekali. Saat Dahayu jatuh sakit saja, suami tak peduli. Ia bahkan asyik kongko bersama teman-temannya hingga larut malam. Padahal di rumah, Dahayu merintih kesakitan. Pertanyaan soal bagaimana kabar Dahayu pun tak keluar dari mulut sang suami saat pulang.
Jika Dahayu melarang suami untuk keluar karena alasan sakit, maka ia akan dianggap mengekang.
Simak kisah selengkapnya di halaman berikutnya..
Harapan akan pria yang bisa menjadi tempat keluh kesah sehari-hari pun pudar. Sang suami kerap terlihat enggan dan malas saat Dahayu ingin berbagi cerita tentang kesehariannya atau pekerjaannya di kantor.
Padahal, keberadaan teman mengobrol menjadi kebutuhan emosional Dahayu yang terbesar dan paling mendasar. Meski sudah berkali-kali disampaikan, tapi sang suami tak juga memahami kebutuhan mendasar Dahayu yang satu ini.
"Saya enggak nuntut apa-apa, kok. Yang penting dia [suami] bisa jadi teman berbagi cerita. Itu aja," ujar Dahayu.
Meski berstatus sebagai suami-istri, namun keduanya seolah hidup terpisah satu sama lain. Hal yang sama juga dilakukan sang suami. Jika Dahayu bertanya soal kegiatan sehari-harinya, maka ia akan dianggap bawel, curigaan, dan sederet penilaian negatif lainnya.
Dengan cara yang aneh, kehadiran suami justru membuat Dahayu merasa kesepian. "Punya suami, tapi rasanya tetap sendiri," keluh Dahayu pelan. Matanya menerawang sedih.
Segala kekesalan dan beban pikiran disimpan Dahayu seorang diri. Tak ada teman berbagi. Ada sesuatu yang kosong dalam diri Dahayu, yang tak bisa diisi oleh suaminya sendiri.
Padahal, Dahayu merasa telah melakukan segala upaya untuk sang suami. Ia berusaha menjadi istri yang bisa diandalkan dan mandiri tanpa bergantung pada suami. Segala urusan rumah tangga, ia yang urus. Ia juga membantu suami mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Tapi, kok, perlakuannya ke saya begitu, ya," ujar Dahayu.
Perlakuan suami yang seenaknya, ditambah dengan rasa kesepian dan kecewa, membuat Dahayu merasa tak diperlakukan layak sebagai seorang istri.
Dahayu tak tinggal diam. Merasa tak diperlakukan layak, ia mencoba bersikap tegas dengan beberapa kali menolak suami saat ingin berhubungan badan.
 Ilustrasi. Dahayu beberapa kali menolak permintaan suami untuk berhubungan seksual. (Istockphoto/ OcusFocus) |
"Memangnya istri hadir cuma buat ngelayanin hasrat seks suami?" ujar Dahayu lantang. Kepalanya mendongkak, pandangan matanya tajam, seolah sang suami berada di depan dan bersiap menerima amukannya.
Dahayu bahkan tak peduli jika penolakannya berujung pertengkaran. Toh, pertengkaran itu ujung-ujungnya akan mereda dalam beberapa waktu. Dahayu hanya perlu sabar menghadapi berbagai pertengkaran akibat urusan ranjang yang tak kunjung usai.
Dahayu tak mengerti apa yang ada di dalam pikiran suaminya. Perlahan, Dahayu mempertanyakan kehadirannya sebagai seorang istri.
"Apakah baginya, sebagai istri, saya itu hadir hanya untuk memuaskan hasrat seksualnya?" tanya Dahayu pelan.
Dahayu sadar betul bahwa kepuasan seksual punya peran penting dalam keharmonisan rumah tangga.
Ia juga tahu, sebagai seorang Muslim, seorang istri perlu melayani hasrat seksual suami. Kebetulan, sang suami kerap menjadikan alasan agama sebagai penyebab kemarahannya saat Dahayu menolaknya berhubungan badan.
"Kamu, tuh, dosa kalau nolak suami yang pengin berhubungan badan," ujar Dahayu, meniru apa yang kerap disampaikan suaminya.
"Tapi, gimana sama perasaan saya? Apakah karena seorang istri perlu melayani hasrat seksual suami, terus perasaan istri enggak perlu diperhatikan? Apa seorang suami enggak perlu memenuhi kebutuhan emosional istri?"
Berbagai macam pertanyaan tentang relasi suami istri itu tumpah dan carut marut di dalam pikirannya. Ia gelisah antara ingin menjadi istri yang berbakti dan membahagiakan suami, termasuk urusan ranjang, atau mempertahankan harapannya untuk menjadi istri yang dihargai oleh suami.
Kedua hal itu, bagi Dahayu, bukan-lah pilihan. Melainkan dua hal yang harus berjalan beriringan.
Bagi Dahayu, meski punya 'tugas' untuk melayani hasrat seksual suami, seorang istri tetap-lah manusia biasa. Ia bukan boneka, seorang istri juga punya perasaan dan kebutuhan emosional yang patut diperhatikan.
"Saya itu seorang istri, bukan boneka seks suami."