Aroma Nasi Padang yang Menggoda Belanda
Lebih dari 20 tahun lalu, saya tak pernah berpikir bakal jadi tukang nasi padang di Belanda. Bagaimana tak heran, wong saya bukan orang Padang kok 'Warung Padang' ini sebenarnya lahir tanpa rencana.
Setelah menikah dengan suami yang asli Belanda, saya pun pindah ke negara kincir angin ini. Awal-awal kepindahan saya pikir masih bisa beradaptasi dengan hambarnya aneka makanan Belanda, namun makin keras berusaha, nyatanya makin sulit saya menahan kerinduan cita rasa makanan Indonesia yang penuh rempah kuat dan aromatik.
Momen paling membahagiakan saya tiap tahun adalah saat 'pulang negara' ke Indonesia. Ini artinya saya bisa puas buat makan apapun yang saya inginkan, jajan beragam makanan yang enak-enak dan 'ada rasanya.'
Dari nasi padang, tukang bakso, mi tek-tek, tukang pempek, sampai tukang siomay keliling saya panggil ke rumah. Tak ada tukang jajanan yang lolos saat itu. Saya bakal merindukan makanan ini saat di Belanda.
Lihat Juga :SURAT DARI RANTAU Menikmati Kepadatan Hong Kong di Tengah Pandemi |
Saya ingat betul saat itu saya memanggil semua penjaja kaki lima dan gerobak street food paling enak versi saya dan meminta si abang untuk mengajarkan saya cara membuatnya. Ternyata mereka bersedia, tentunya saya juga memberikan mereka sedikit ucapan terima kasih untuk kesediaan mereka berbagi ilmu.
Saat kembali ke Belanda, saya pun mulai kembali memasak, tapi kali ini hidangan yang saya pelajari dari abang penyelamat saat kelaparan. Dari siomay sampai bakso, dan nasi padang, sekeluarga semua doyan, termasuk suami saya yang Belanda asli. Bule makan nasi padang dengan sambal ijo yang pedas.
Sesekali saat teman-teman Indonesia datang berkunjung, saya juga memasak untuk mereka. Untungnya mereka suka. Dari mulut ke mulut, masakan saya ternyata bisa memuaskan kerinduan mereka pada makanan Indonesia. Dari situ beberapa orang mulai memesan makanan untuk berbagai acara. Singkat cerita, saya akhirnya membuat katering makanan Indonesia di Eindhoven dengan nama Dj's Kitchen.
Katering ini banyak membantu saya memperluas koneksi dengan banyak orang. Pelanggan banyak berdatangan dari kota tetangga bahkan sampai orang-orang kedutaan Indonesia. Memang dasar tak bisa diam, dari katering saya meluaskan usaha di bidang event organizer untuk promosi makanan Indonesia di Eropa. Namun nasib berkata lain, menjadi seorang EO bukanlah jalan saya.
Bukan perkara mudah untuk jadi seorang EO yang harus terus menunjukkan kreativitas tanpa batas. Selain itu, melakukan banyak hal yang selalu menyenangkan dan memuaskan semua pihak juga bukan perkara mudah. Belum lagi jika rugi besar, makin stres saya. Usaha yang dipikir bakal berjalan lancar malah bikin rugi besar.
Bipolar
Kala itu semua tak berjalan sesuai rencana. Kondisi ini membuat saya terpuruk dan depresi. Saya pun harus menjalani pengobatan karenanya. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, depresi membuat bipolar saya semakin menjadi. Sejak 2009, saya memang sudah divonis menderita bipolar.
Lihat Juga :SURAT DARI RANTAU Merajut Mimpi dari Kota Paling Layak Huni di Dunia |
Dunia seolah runtuh, sedih bukan kepalang. Sesekali saat kumat, saya mengamuk. Saat normal, semuanya baik-baik saja. Beruntung suami dan anak-anak mendukung sepenuhnya meski kadang saya mengamuk tanpa alasan, menangis, berteriak, lalu tertawa ceria seolah tak ada masalah.
Tapi menyerah bukanlah sebuah pilihan. Dalam hati kecil, saya tahu saya harus bangkit, demi keluarga dan saya sendiri. Perlahan tapi pasti saya menemukan cara tepat mengatasi kambuhnya bipolar. Sesuatu yang sudah saya lakukan dan cintai sejak dulu namun sempat ditinggalkan karena kesibukan lainnya. Memasak, saya kembali ke dapur.
Memasak ternyata membantu saya untuk fokus pada apa yang saya lakukan saat ini, di sini. Memasak membantu saya untuk menyibukkan diri dan melupakan sejenak masalah. Tak cuma itu, kembali memasak juga membawa cuan yang tak pernah saya bayangkan selama ini.