Hong Kong, CNN Indonesia --
Dulu saya berpikir bahwa akan sulit untuk menyeimbangkan kehidupan di Hong Kong, karena kota ini serba sibuk. Nyatanya selama empat tahun hijrah ke sini untuk melanjutkan pendidikan S3, saya akhirnya bisa juga menikmati kenyamanan Hong Kong.
Survei Biaya Hidup Tahunan ke-27 yang dirilis Mercer pada Juni 2021 menulis bahwa Hong Kong ialah kota termahal ke-dua di dunia, di bawah Ashgabat (Turkmenistan) dan bahkan dua posisi di atas Tokyo (Jepang).
Pemerintah Hong Kong memang menetapkan pajak yang tinggi, namun diganjar dengan banyaknya layanan publik yang mumpuni, seperti biaya sekolah gratis dari SD sampai SMP, dan biaya rumah sakit umum yang cukup murah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak juga kampus di Hong Kong yang masuk dalam '50 Universitas Terbaik di Dunia' yang memberikan beasiswa bagi mereka yang hendak menuntut ilmu di sini. Mahasiswa lokal yang melanjutkan studinya ke jenjang pascasarjana juga dibebaskan dari biaya kuliah.
Dan yang bisa menjadi contoh banyak negara termasuk Indonesia, pemerintah Hong Kong memberikan perhatian yang cukup besar pada sektor pendidikannya dalam hal gaji pendidik, terutama profesor di universitas, termasuk yang tertinggi di dunia untuk bidang akademisi.
Biaya hidup yang tinggi memunculkan banyak pemukiman padat di Hong Kong. Penduduk kelas menengah ke bawah rasanya tak keberatan tinggal di hunian yang berukuran mungil, sering disebut micro-apartment, agar tetap bisa mengakses pusat kota.
Salah satu contohnya pemukiman The Monster Building, kompleks apartemen padat yang menjulang di Quarry Bay, yang sebelum pandemi virus corona ramai didatangi wisatawan mancanegara untuk mengambil foto atau video Instagramable.
 Foto tahun 2019. Antrean wisatawan yang hendak berfoto dengan latar belakang The Monster Building. (Isaac LAWRENCE / AFP) |
Beruntungnya selama pandemi, pemerintah tak menerapkan lockdown (penguncian wilayah) di Hong Kong, sehingga penduduk tak perlu merasa "terpenjara" di rumah.
Kebetulan saya juga tinggal di dorm di universitas, yang mana lahannya cukup luas dan banyak fasilitas umum, seperti tempat berolahraga, sehingga tidak membuat terlalu tertekan selama pandemi.
Walau tak ada lockdown, aturan pembatasan tetap dilakukan saat kasus penularan tinggi, misalnya restoran diminta membatasi kapasitasnya hingga 50 persen.
Hanya dua orang yang boleh duduk semeja saat bersamaan. Saat ini, saat kasus lokal menurun - karena didominasi kasus dari luar negeri - pembatasannya menjadi empat orang dalam satu meja. Begitu juga saat di taman, kerumunan lebih dari empat orang yang saling berdekatan dilarang.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Selain taman-taman kota - yang terbesar ialah Taman Victoria, penduduk Hong Kong juga biasanya berwisata alam ke pinggiran kota. Jumlah objek wisata alam yang bisa di pilih di sini memang tak bisa dibandingkan dengan Indonesia, tapi cukup menyenangkan saat disambangi demi melepas penat dari kesibukan kota.
Selama pandemi virus corona, semakin banyak juga anak muda yang memilih berwisata alam. Olahraga air seperti waterboarding atau kayaking. Tak sedikit juga yang rutin mengadakan trip trekking singkat saat akhir pekan, seperti ke Dragon's Back.
Karena jumlahnya yang tak banyak, pemerintah Hong Kong sangat perhatian dengan keberadaan objek wisata alamnya, terutama dalam hal kebersihannya dan kemudahan aksesnya.
Di halaman situs Badan Pariwisata Hong Kong (Hong Kong Tourism Board/HKTB), wisatawan mancanegara bisa dengan mudah melihat informasi mengenai jam buka hingga rute transportasi umum menuju ke objek-objek wisata alam ini.
 Pemandangan di Taman Hong Kong. (Istockphoto/ Bennymarty) |
 Foto tahun 2020. Penduduk Hong Kong menikmati pemandangan di High Junk Peak. (Yan ZHAO / AFP) |
Rasanya cukup berbeda dengan layanan wisata di Indonesia, di mana wisatawan harus melakukan pencarian "secara manual" ke banyak sumber, sebelum akhirnya bisa "percaya diri" untuk berwisata ke objek wisatanya. Jangankan informasi berbahasa Inggris untuk wisatawan mancanegara, panduan bagi wisatawan domestik saja kurang detail.
Saya jadi teringat saat hendak mengajak kawan-kawan saya dari Amerika Serikat dan Australia ke Taman Safari di Bogor dengan keberangkatan dari Jakarta. Sepanjang perjalanan, dari naik angkot, ojek, sampai kereta, saya merasa kalau belum banyak informasi mengenai cara menuju ke sana bagi wisatawan, terutama yang dari mancanegara, sehingga saya merasa sepertinya tidak mungkin melepas teman-teman saya ini pelesir sendirian.
Menjelang dibukanya lagi gerbang pariwisata di Indonesia, saya pikir sangat penting bagi pihak terkait untuk membenahi hal ini, sehingga potensi objek wisata bisa dinikmati oleh lebih banyak wisatawan dan buah dari keramaian datangnya turis dapat dinikmati oleh lebih banyak penduduk lokalnya.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, silakan hubungi [email protected]
[Gambas:Photo CNN]