Tapi kembali lagi, saya tetap mencoba berpura-pura tak masalah. Saya bahkan harus pura-pura orgasme demi mempercepat aksi ranjang.
Buntutnya, saya tak pernah lagi bisa ereksi saat mencoba mencumbunya.
Hasil konseling dengan psikolog saat proses perceraian berlangsung, saya mengalami sedikit trauma.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai saat ini bahkan gumaman itu masih terus terngiang di telinga. Gumaman itu tanpa sadar membuat saya membenci dan tak bisa memaafkan Runi, meski di depannya saya selalu terlihat hangat dan bahagia.
Alih-alih mengutarakan perasaan pada Runi, saya memilih untuk kembali berselingkuh. Anehnya, dengan perempuan lain, saya bisa ereksi. Tapi tak bisa jika bersama Runi.
Dari sana, tanduk iblis seolah langsung tumbuh di kepala. Selama dua tahun, saya berselingkuh dengan beberapa perempuan lain.
Rasanya sedih, tapi juga senang. Sedih karena berselingkuh dan merasa bersalah pada anak, tapi senang karena ternyata saya masih lelaki 'normal'.
Rasa sayang pada Runi juga perlahan hilang, atau mungkin bersembunyi?
Tapi perlahan rasanya lelah juga. Berpura-pura baik-baik saja di depan Runi, sambil juga menyembunyikan kisah-kisah asmara saya bersama perempuan lain. Saya memilih untuk jujur dan mengakui apa yang saya lakukan.
Jawabannya jelas, Runi langsung minta berpisah.
![]() |
Dari sana hingga akhirnya Runi resmi melayangkan gugatan cerai, kira-kira selama satu tahun, pertengkaran jadi makanan sehari-hari. Selalu ada hal yang kami ributkan. Melelahkan.
Beberapa kali bahkan Mugia, anak kami, melihat pertengkaran orang tuanya. Hal ini yang sampai sekarang membuat saya masih terus merasa bersalah.
Talak satu usai, berlanjut ke talak dua. Kami berpisah rumah selama tiga bulan. Tapi rasanya melelahkan.
Sebisa mungkin, kami berusaha agar Mugia tak tahu bahwa kami tinggal di atap yang berbeda. Setiap pulang kantor, saya pulang ke rumah untuk menina-bobokan Mugia, berpura-pura mau tidur. Lalu pulang ke apartemen, dan keesokan paginya kembali ke rumah, berpura-pura seolah ayahnya sudah terbangun dan menemaninya bermain.
Hopeless, beberapa kali saya dan Runi bertemu untuk membicarakan Mugia. Merencanakan kehidupan Mugia saat nanti kami resmi berpisah.
Tapi, diam-diam pertemuan itu menyalakan kembali getar-getar kehangatan di antara kami. Saya sadar, selama ini yang ada di kepala hanyalah keluhan demi keluhan, tapi saya lupa cerita-cerita manis yang pernah ada di baliknya.
Lihat Juga : |
Lucunya, saat kabar soal rencana perceraian kami tersebar, banyak teman yang menghubungi. Ternyata, banyak orang di sekeliling saya yang mengalami hal serupa: mau bercerai, hampir bercerai, atau bahkan sudah bercerai.
Rata-rata masalahnya berawal dari ekspektasi orang lain, meski dengan problematika yang berbeda. Dari sana saya berpikir, ternyata banyak orang yang berusaha menjadi seperti apa yang diinginkan orang lain. Lagi-lagi, mereka berpura-pura.
Saya yakin, masalah seperti ini terjadi di banyak rumah tangga. Ada yang sadar untuk bergerak memperbaiki, ada yang sadar sampai bercerai, ada juga yang tak sadar dan hanya mencoba menjalaninya.
Kini, saya dan Runi tengah sama-sama mencoba belajar dan memperbaiki diri, meski susahnya minta ampun.
Tak perlu lagi berpura-pura, baik satu sama lain atau pada orang lain. Kami mencoba untuk lebih saling terbuka tanpa perlu memikirkan apa yang diinginkan orang lain.
Kami juga tak mau lagi berusaha memenuhi ekspektasi publik. Jika bertengkar, ya, bertengkar saja. Jika kejadian serupa kembali terulang dan kami harus bercerai, saya ikhlas, biarkan saja itu terjadi.
Toh, kami sudah berusaha. Perceraian atau keretakan rumah tangga juga bukanlah sebuah kesalahan. Lagi pula, apa salahnya untuk menjadi tidak sempurna?
(asr)