Tapi, rasa nyaman dan terlindungi itu justru berubah setelah pandemi berangsur pulih. Cuaca ekstrem yang terus berlangsung malah membuat Gili Air kehilangan eksotismenya.
Tongkang atau kapal yang biasa mengangkut sampah di Gili Air ke TPA di Lombok tertunda akibat cuaca ekstrem. Akibatnya, sampah tidak terkumpul atau menumpuk di pantai bersama dengan sampah laut yang mendarat saat badai.
"Kalau cuaca bagus, dua kali sehari mereka membawa sampah ke Lombok," kata Daniel Budiwanti, agen perjalanan di Gili Line, yang menjual tiket kapal wisata berlantai kaca yang juga tidak beroperasi karena cuaca buruk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal-hal yang memperparah adalah pemandangan yang tidak menyenangkan dari puluhan vila dan hotel kecil yang ditinggalkan selama pandemi. Kolam renang tepi pantai yang dulunya berkilau sekarang dipenuhi lumpur dan nyamuk.
Banyak hotel yang kembali dibuka sejak Indonesia membuka kembali perbatasan pada awal 2022, sangat membutuhkan perbaikan.
"Orang-orang tidak memelihara propertinya selama dua tahun akibat pandemi. Sangat merusak (hotel) lebih buruk dari tsunami," kata manajer sebuah hotel kecil, yang berbicara tanpa menyebut nama.
"Pemilik harus kembali ke Spanyol karena bangkrut. Sekarang dia meminta saya mengoperasikan kembali hotelnya. Saya telah memperbaiki banyak hal tetapi setelah badai, semua atap bocor dan orang-orang membatalkan reservasi mereka," kata dia.
(tst/wiw)