Jakarta, CNN Indonesia --
Desainer busana Muslim Irna Mutiara merasa dirinya sudah masuk fase berbagi ilmu, bukan lagi bersaing. Dari profesi desainer, kini dirinya bak ibu yang melahirkan para desainer muda.
Kesibukan begitu kentara di gelaran Muslim Fashion Festival (Muffest+) 2023. Rasanya bisa dibilang ini pestanya para pelaku industri mode khususnya busana tertutup (modest wear). Irna pun turut sibuk sebab akan mempresentasikan koleksinya bersama Wardah.
Akan tetapi, kesibukan kemarin sedikit berbeda. Ia naik ke panggung mini untuk pre-launch buku 'Islamic Fashion Handbook' yang dibidani Islamic Fashion Institute (IFI). IFI sendiri merupakan sekolah mode Muslim yang didirikan Irna bersama desainer Deden Siswanto dan Nuniek Mawardi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini kumpulan materi yang diajarkan oleh mentor-mentor IFI, lalu kami bukukan dan lengkapi. Kaidah [busana Muslim] kami cantumkan," kata Irna dalam konferensi pers di The Westin Jakarta, Jakarta Selatan, Selasa (8/3).
Perempuan kelahiran 53 tahun silam ini memang lahir dari orang tua yang berkecimpung di dunia mode. Dia berkata, sedari lahir dirinya sudah melihat mesin jahit sehingga industri mode pula yang ditapaki.
Lulus dari studi Tata Busana IKIP (sekarang UPI) Bandung, ia bekerja di garment yang memproduksi pakaian anak. Dari situ, ia belajar bahwa industri mode harus dilakoni dengan serius dan berlandas ilmu.
"Saya belajar bagaimana merilis pakaian anak satu koleksi, bukan single design, apalagi waktu itu buyers-nya ada buyers luar negeri. Jadi temanya apa, misal beach, lalu produksi ada rok, celana panjang, jaket, tapi temanya sama, terkonsep," kata Irna saat berbincang dengan CNNIndonesia.com selepas presentasi koleksi bersama Wardah.
Kemudian pada 2006, ia membuat pakaian sendiri berupa pakaian muslim kasual. Seiring berjalan waktu dan melihat kebutuhan pasar, Irna mendirikan jenama busana pengantin muslim bernama Irna La Perle.
Saat itu, kata dia, 'pemain' busana muslim masih sedikit apalagi busana pengantin. Peminatnya pun datang baik dari dalam maupun luar negeri. Menurutnya, para pembeli kala itu mencari busana muslim yang keren dan kekinian.
Bangun Sekolah Mode
Kesuksesan Irna La Perle dan keseriusan Irna menekuni busana muslim membuatnya dilirik oleh Kementerian Perindustrian untuk menjadi mentor bagi UMKM daerah pada 2014.
Irna mulai menularkan ilmu dan pengalamannya di industri mode. Dari satu daerah ke daerah lain, ia menjadi mentor bagi pelaku usaha yang mayoritas perempuan. Perjalanan ini membuatnya makin sadar bahwa Indonesia begitu kaya.
Kekayaan ini tertuang dalam mode mulai dari wastra, detail berupa bordir, sulam, motif dan masih banyak lagi. Namun, tanpa inovasi, Irna tak yakin kekayaan ini bakal terus bisa dinikmati hingga generasi-generasi berikutnya.
"Tipikalnya, perajin daerah itu turun-temurun, kadang takut mengubah pakem misal, Minang itu kan warnanya jreng saja, padahal anak muda sekarang mungkin enggak cocok dengan warna seperti itu. Atau mungkin merasa sudah laku, padahal dari tahun ke tahun [penjualannya] menurun," ungkapnya.
Irna merasa hal tersebut adalah PR besar. Dia menilai perlu ada pergerakan sekaligus pembaharuan agar semua itu lestari. Ilmu memang bisa dibagi tetapi yang jadi persoalan adalah tak memungkinkan jika ia harus tinggal di suatu daerah berbulan-bulan untuk mentoring dan monitoring.
Kemudian ia berpikir untuk mendirikan sekolah. Para perajin memiliki generasi muda sehingga harapannya para muda ini menimba ilmu sebanyak mungkin lalu membawanya ke daerah asal. IFI pun berdiri pada 2015.
[Gambas:Photo CNN]
"Dengan belajar, mereka bisa berkarya di daerahnya. Saya kalau masuk kelas, saya tanya [mereka] dari daerah mana. Ada yang dari Batam, Riau, lalu [wilayah] Sumatera, Tegal, Semarang. Mereka punya apa di daerah, itu dikreasikan," katanya bersemangat.
Dalam agenda Muffest+ 2023 ini pun Irna mengajak murid-murid IFI, salah satunya murid dari Tegal. Dia menilai agenda mode seperti ini akan memberikan pengalaman lebih luas dan beda dibanding jika ia tetap di Tegal.
Pun ia memberikan kesempatan para murid untuk magang di jenamanya. Selain Irna La Perle, Irna juga memiliki dua jenama mode lain yakni, U2d dan IM Syar'i.
Sementara itu, Irna melihat industri busana muslim layaknya lokomotif yang menarik sejumlah gerbong saat dilihat dari kacamata ekonomi.
Busana muslim, kata dia, terdiri dari beberapa elemen dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dalam satu potong busana saja terdapat bordir, payet atau detail lain. Otomatis, ada banyak tangan yang terlibat.
 Foto: Adhi Wicaksono Model membawakan kostum rancangan Irna Mutiara bersama Siswi SMK NU Banat Kudus dalam peragaan busana bertajuk "Miracle Of The Sun" pada rangkaian acara Indonesia Fashion Week 2015 hari kedua. Jakarta, Jumat, 27 Februari 2015. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono. |
"Seorang desainer, ada kemampuan sebagai kreator, dia adalah lokomotif dan gerbongnya banyak. Tidak hanya pabrik tekstil, ada [pelaku mode] tradisional juga, penjahitnya, kalau pakai manik-manik ada pemayetnya, pembordir, akan banyak," imbuhnya.
Kini lulusan IFI ada sekitar 300 orang. Bisa dibayangkan jika mereka semua jadi desainer atau kreator, ada begitu banyak 'gerbong' yang turut dalam perjalanan. Sekolah ini juga jadi langkah menciptakan generasi penerus meski harus disadari hal ini juga berarti menciptakan pesaing baru.
"Saya juga menciptakan pesaing sendiri karena murid-murid saya," katanya disusul tawa.
"Tapi naturalnya seperti itu, kita sudah [selesai] lalu digantikan, terus berputar."