"Dia mah manja, habis lahiran anaknya langsung diurus babysitter. Dulu ibu pas ngelahirin kamu langsung mengurus semua sendiri, langsung beresin rumah. Enggak manja. Anak sekarang emang manja-manja,"
Lisa (32) masih ingat betul kalimat yang dilontarkan ibunya di depan tetangganya yang malam itu menjenguknya setelah satu minggu lahiran.
Lisa baru saja melahirkan anak kedua. Bekas operasi caesar di perutnya saja masih terasa sakit, makin sakit saat mendengar omelan ibunya yang seolah tanpa rasa bersalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sakit banget sih. Aku juga waktu itu kayaknya sensitif banget. Dikit-dikit nangis, sedih mulu. Mana ibu aku juga ngomel mulu," kata Lisa membagikan ceritanya kepada CNNIndonesia.com.
Cerita Lisa bisa jadi cerita banyak ibu lainnya di luar sana. Tuntutan menjadi 'super woman' ketika baru punya anak dengan perbandingan 'saya dulu..' bisa sangat menyakitkan. Tapi, untuk orang yang mengucapkan, mungkin itu terasa sepele.
Psikolog dari Brawijaya Hospital Nuran Abdat mengungkapkan, kasus membandingkan zaman dulu dan zaman sekarang berkaitan dengan ibu melahirkan memang masih banyak terjadi. Bukan cuma membandingkan, mitos-mitos seputar kelahiran juga hingga saat ini masih dipercaya sebagian masyarakat.
Ada mitos ibu harus banyak bergerak agar badannya tidak melar. Ada mitos hanya boleh makan tempe dan tahu rebus selama 40 hari setelah melahirkan.
Kepercayaan bahwa perempuan harus kuat setelah melahirkan juga kerap bikin ibu keder. Akibatnya, ibu dianggap lemah dan manja jika tak 'sekuat' sebagaimana yang menjadi tuntutan masyarakat. Perempuan, katanya, tetap harus mengurus dapur setelah melahirkan tanpa protes.
Masalahnya, membandingkan zaman dulu dan zaman sekarang, ditambah mitos yang masih dipercaya seputar melahirkan ini bisa memengaruhi mental ibu. Tidak sedikit ibu yang tengah mengalami depresi malah dianggap manja dan tidak benar-benar dirawat.
![]() |
"Keyakinan, mitos, dan norma sosial yang ada ini memang bisa memengaruhi kondisi mental ibu. Bahkan, pembiaran dari pihak keluarga bisa terjadi. Sayangnya, di masyarakat kita hal-hal ini masih marak terjadi," kata Nuran saat dihubungi melalui telepon.
Selain itu, selama ini perbedaan perlakuan juga kerap dialami ibu yang baru melahirkan. Tidak sedikit perempuan yang merana setelah melahirkan karena kurang perhatian dan seolah diabaikan.
Kata Nuran, ketika hamil, perempuan kerap dimanja, dielu-elukan, apa pun yang diminta selalu diberikan. Tapi, ketika anak sudah lahir, semua perhatian itu hilang. Perhatian semua orang beralih ke si bayi yang baru lahir.
"Wajar ketika hal ini terjadi ibu langsung merasa tidak dihargai, tidak dicintai. Sebab, ketika habis melahirkan, bukan hanya bayi yang harus diperhatikan, ibu pun harus. Karena dia yang paling merasakan sakit," kata dia.
Padahal, berbagai masalah mental bisa menghampiri ibu pasca-melahirkan. Sebut saja baby blues pada tahap yang paling ringan, depresi postpartum, hingga yang paling parah adalah psikosis postpartum. Tak sedikit kasus-kasus pilu ibu yang berniat mengakhiri hidupnya bersama si buah hati karena kondisi-kondisi di atas.
Lihat Juga :![]() Pekan ASI Sedunia Dilema Ibu Bekerja Menyusui, Tak Sekadar Minim Ruang Laktasi |
Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami apa yang dirasakan para ibu baru dengan mengenyampingkan tuntutan 'super women' serta berbagai mitos yang berkembang di masyarakat.
Pasalnya, setiap ibu memiliki perasaan yang harus dijaga, bukan hanya saat hamil, tapi juga saat dia sudah melahirkan.
"Jangan anggap ibu 'super woman'. Mereka, kami, kita para perempuan ini sama saja. Butuh perhatian dan bantuan, terutama setelah melahirkan," katanya.
Lisa mungkin bisa menangani rasa sakit hati akibat ucapan ibunya setelah dia melahirkan anak kedua. Tapi tidak semua wanita seperti Lisa. Banyak perempuan di luar sana yang berujung depresi hingga melakukan hal-hal ekstrem setelah dibandingkan dan dituntut menjadi 'super woman'.
(tst/asr)