Perempuan dan Anak di 'Tangan' Jokowi, Oase yang Tak Segar-segar Amat
Masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak tak pernah ada habisnya. Meski sempat ada harapan bernama Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), penanganannya masih saja pelik.
Setelah mandeg selama kurang lebih 10 tahun, beleid yang melindungi korban kekerasan seksual itu akhirnya disahkan pada April 2022 lalu. Tapi hal itu tak berarti menyelesaikan rumitnya penanganan.
Dengan kata lain, di masa satu tahun terakhir jabatan hingga 2024 mendatang, Presiden Joko Widodo masih punya PR untuk menyelesaikan hal-hal mendetail terkait penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Komisioner Komnas Perempuan Wanti Mashudi mengatakan, disahkannya UU TPKS memang menjadi oase di tengah kemarau panjang sengkarut penanganan kekerasan seksual.
"Korban mulai berani mengungkapkan apa yang terjadi padanya. Karena apa? Karena mereka merasa kalau lapor sudah ada aturan hukumnya. Jadi kejadian yang menimpa mereka bisa diproses secara hukum," ujar Wanti saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (17/10).
Keberanian korban, lanjut Wanti, terbukti dari semakin banyaknya laporan kasus kekerasan dan pelecehan seksual dari tahun ke tahun. Hal ini diamini pula oleh Sekretaris Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar.
"Masyarakat mulai berani berbicara karena keyakinan kasus akan ditangani, sekaligus korban diberi perlindungan atas apa yang mereka alami," kata Nahar.
Berdasarkan data dari Kemen PPPA, sepanjang tahun 2023 hingga bulan Agustus, tercatat 314 laporan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang diterima. Dari ratusan kasus itu, sebanyak 802 anak menjadi korban.
Sayangnya, peningkatan keberanian korban untuk melapor tak dibarengi dengan penanganan yang cepat. Beberapa memang ditangani, tapi tak sedikit juga yang ditolak dan baru diusut saat kasusnya telah viral di media sosial.
Tengok saja kasus pria yang mencium anak di Gresik, Jawa Timur. Kasus ini mencuat tak lama setelah UU TPKS disahkan.
Saat pertama kali dilaporkan, kasus ini tak ditangani. Aparat menolak dan berdalih bahwa apa yang dilaporkan tak termasuk ke dalam pelecehan seksual.
Sontak, warganet pun geram dan kompak menghujat pelaku sekaligus polisi yang menganggap enteng kasus. Tapi, saat kasus makin viral, aparat tiba-tiba saja jadi sigap menangani kasus tersebut.
Apa yang terjadi di Gresik ini bukan satu-satunya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang baru ditangani saat telah viral. Banyak kasus lain yang juga harus 'menunggu' viral untuk akhirnya tertangani.
Nyatanya, UU TPKS tak sepenuhnya memberi perlindungan dan penanganan terhadap kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya..