Foto AI dengan Orang Meninggal: Obat Rindu atau Risiko Psikologis

CNN Indonesia
Selasa, 16 Sep 2025 11:30 WIB
Ilustrasi. AI memang bisa menciptakan apa saja, termasuk menciptakan foto dari orang yang sudah meninggal. (REUTERS/Soo-hyeon Kim)
Jakarta, CNN Indonesia --

Di media sosial, belakangan muncul tren baru, membuat foto bersama orang yang sudah meninggal dengan bantuan kecerdasan buatan (AI). Ada yang berpose kembali dengan orang tua, pasangan, anak, hingga sahabat yang telah tiada.

Menurut psikolog dari Tabula Rasa, Arnold Lukito, fenomena ini tak lepas dari fungsi katarsis dan memorialisasi. Bahkan, foto-foto itu biasanya disertai caption penuh kerinduan, lalu dibanjiri komentar dukungan dan doa.

"Ketika diunggah, foto bukan sekadar kenangan pribadi, tapi juga sarana mengekspresikan kesedihan secara publik. Respons berupa dukungan sosial bisa membantu orang yang berduka merasa tidak sendirian," kata Arnold saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (15/9).

Arnold menjelaskan, dalam psikologi duka dikenal teori continuing bonds atau ikatan yang terus berlanjut. Orang yang berduka seringkali tidak benar-benar "melepaskan" orang tercinta yang meninggal, melainkan menjaga hubungan simbolis dengan berbagai cara.

"Dulu, orang mungkin menyimpan baju peninggalan atau berbicara di makam. Sekarang, dengan AI, kenangan itu bisa diwujudkan dalam bentuk foto seolah-olah momen itu hidup kembali," jelas Arnold.

Kematian kerap meninggalkan rasa kehilangan yang penuh ketidakberdayaan. Foto AI memberi ruang bagi orang untuk merasa memiliki kontrol, meski hanya ilusi.

"Teknologi memberi pengalaman seolah-olah bisa 'mengembalikan' momen yang sudah hilang. Ini dapat menenangkan sebagian orang dan meredakan kecemasan terhadap finalitas kematian," ujar Arnold.

Arnold menekankan fenomena foto AI ini juga punya dampak positif sekaligus negatif. Semuanya bergantung pada bagaimana orang menggunakan teknologi tersebut.

Dampak positif

Bisa digunakan sebagai ajang ritual healing. Foto AI bisa berfungsi sebagai bagian dari proses pemulihan. Dengan melihat foto tersebut, seseorang mungkin merasa lebih mampu menghadapi kenyataan kehilangan, karena punya ruang aman untuk mengolah emosi.

Selain itu, hal ini juga bisa menghadirkan kenangan positif. Melihat wajah orang tercinta, meski hanya hasil rekayasa, dapat memunculkan perasaan hangat dan kedekatan. Bagi sebagian orang, ini menumbuhkan rasa syukur pernah memiliki momen bersama mereka.

Dampak lainnya, yakni bisa menciptakan dukungan sosial. Ketika dibagikan ke publik, foto ini sering memancing komentar berupa doa dan simpati. Dukungan tersebut membantu orang berduka merasa lebih diterima dan dipahami.

Dampak negatif jika berlebihan

Arnold juga menyinggung dampak negatif yang tentu harus diwaspadai. Terutama soal menghindari realita.

Foto AI bisa menjadi bentuk avoidance coping, yaitu cara menghindari kenyataan pahit. Alih-alih menerima kehilangan, orang justru lebih banyak "bertemu" dengan sosok yang sudah meninggal dalam bentuk imajiner.

Selain itu, ini juga bisa memicu risiko duka berkepanjangan. Terlalu bergantung pada foto buatan ini bisa memicu prolonged grief disorder. Orang cenderung terjebak dalam fantasi, sehingga kesedihan tak kunjung selesai dan sulit melanjutkan hidup.

Keterikatan baru yang semu. Ada risiko orang menciptakan ikatan emosional baru dengan sesuatu yang sebenarnya tidak nyata. Alih-alih membantu pulih, ini justru memperpanjang keterikatan dengan masa lalu.

"Foto AI bisa menjadi sarana healing yang sehat, asalkan digunakan secukupnya. Tetapi jika sampai menghambat penerimaan akan kenyataan, justru berbahaya," tegas Arnold.

(tis/tis)


KOMENTAR

TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK