Bullying Bisa Picu Dua Reaksi Ekstrem pada Anak, Ini Penjelasannya

CNN Indonesia
Kamis, 13 Nov 2025 10:00 WIB
Ilustrasi. Cara anak menghadapi bullying bisa berbeda. (iStock/lakshmiprasad S)
Jakarta, CNN Indonesia --

Tak semua anak bereaksi sama ketika menjadi korban bullying. Ada yang membalas dengan kemarahan, ada pula yang memilih diam dan tenggelam dalam perasaan bersalah.

Menurut psikolog klinis dari Tabula Rasa, Arnold Lukito, perbedaan respons ini bukan sekadar soal kuat atau lemah, tapi berkaitan dengan faktor kepribadian, dukungan sosial, dan pencarian makna diri.

"Bullying bisa menjadi pemicu emosional yang besar, tapi dampaknya sangat tergantung pada beberapa faktor," ujar Arnold saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (10/11).

Berikut beberapa hal yang bisa memicu bagaimana anak merespons saat menjadi korban bullying:

1. Kepribadian dan kemampuan mengatur emosi

Arnold menjelaskan, struktur kepribadian serta kapasitas regulasi emosi sangat memengaruhi bagaimana anak mengekspresikan rasa sakitnya. Anak dengan kepribadian impulsif, agresif, atau memiliki riwayat trauma cenderung mengekspresikan luka batinnya secara eksternal, misalnya dengan melukai orang lain atau berperilaku destruktif.

"Sebaliknya, anak yang sensitif, perfeksionis, atau tidak punya outlet emosional biasanya mengekspresikan rasa sakitnya secara internal, seperti menyalahkan diri sendiri hingga muncul gejala depresi atau ide bunuh diri," jelasnya.

Dengan kata lain, satu peristiwa bullying bisa memunculkan dua ujung ekstrem:

• Eksternalisasi yang ditunjukan dengan sikap 'Aku akan balas supaya mereka tahu rasanya'

• Internalisasi yang ditinjukan dengan sikap 'Mungkin aku pantas disakiti'

2. Peran dukungan sosial dan figur aman

Selain kepribadian, kehadiran figur dewasa yang aman, seperti guru, orang tua, konselor, atau mentor juga berperan penting. Anak yang merasa dilihat dan didengarkan cenderung lebih mampu menyalurkan emosinya secara sehat.

"Tidak selalu karena figur itu memberi solusi, tapi karena ia memberi rasa diakui," kata Arnold.

Sebaliknya, tanpa dukungan sosial, anak bisa mencari validasi di tempat lain, termasuk dari komunitas yang menerima mereka tanpa syarat, bahkan jika komunitas itu berisi nilai atau ideologi berbahaya.

3. Pencarian makna dan narasi identitas

Bullying sering membuat anak merasa tidak punya tempat. Dalam kondisi seperti itu, narasi ekstrem yang menawarkan makna atau peran sebagai 'pejuang' bisa terasa sangat menarik.

"Ideologi ekstrem sering kali memberi pesan kebalikan: kamu bukan korban, kamu pejuang. Narasi seperti ini sangat kuat bagi otak remaja yang sedang membangun konsep diri," terang Arnold.

Remaja pada dasarnya sedang mencari makna, pengakuan, dan rasa kendali atas hidupnya. Ketika semua itu tidak mereka dapatkan dari lingkungan yang aman, mereka lebih mudah tertarik pada siapa pun yang datang dengan pesan 'kami paham kamu.'

4. Membangun ruang aman dan empati

Arnold menegaskan, memahami mekanisme di balik respons anak terhadap bullying bisa menjadi dasar penting dalam pencegahan kekerasan dan radikalisasi. Anak perlu ruang aman untuk mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi.

"Membangun empati, literasi emosi, dan rasa diterima jauh lebih efektif daripada sekadar memberi nasihat," tuturnya.

Pada akhirnya, tidak ada satu cara universal dalam menghadapi dampak bullying. Setiap anak memiliki dunia emosinya sendiri.

"Yang bisa dilakukan orang dewasa adalah hadir, mendengarkan, dan memastikan anak tahu bahwa ia tidak sendirian," katanya.

(tis/tis)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK