Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak usia 9 tahun, Farida Oetoyo sudah tahu apa yang diimpikannya. Tak seperti bocah kebanyakan yang bercita-cita menjadi dokter atau insinyur, Farida lebih memilih menjadi seorang penari balet. Hasrat menggebu itu diwujudkan dengan tidak tanggung-tanggung.
Ia mengejar ilmu balet sampai Australia, Belanda, Amerika, dan Rusia. Di pentas kelulusannya, tahun 1965 untuk pertama kali Sang Saka Merah Putih berkibar bangga di Gedung Teater Bolshoi, Moskow. Farida pun menyandang gelar
Artist of the Ballet, dengan nilai cum laude.
Kiprah Farida kemudian mendunia. Tapi, jiwanya tetap di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan keteguhan tekad, Farida mendirikan sekolah balet Sumber Cipta. Di sana ia menerapkan penggemblengan melalui kurikulum balet yang belum pernah ada di Indonesia. Kedisiplinan, kerja keras, dan semangat pantang menyerah ia tularkan pada anak-anak didiknya.
Di samping itu, ia juga wanita panutan dalam keluarga. Meski pernikahannya dengan Sjumandjaya dan Feisol Heshim tidak bertahan sampai akhir usia, Farida amat mencintai anak-anaknya. Ia mendedikasikan hidup untuk keluarga, balet, dan tanaman yang menjadi hobinya.
“Mama tidak pernah memberi wejangan, tapi semua yang dilakukannya sudah seperti nasihat,” ujar Sri Aksana Sjuman, atau akrab disapa Wong Aksan di bilangan Jakarta Selatan, Kamis (11/9).
Seluruh kenangan hidup Farida itu kini terekam dalam buku
Saya Farida: Sebuah Autobiografi. Sebagian besar, buku itu ditulis sendiri oleh Farida. Gagasan itu muncul berkat dorongan seorang penulis, Nina Pane yang melihat banyak nilai positif dalam hidup Farida dan perlu disebarkan.
Di dalamnya tersebar kisah hidup Farida, mulai dilahirkan sampai menutup usia. Nama-nama semua asli, tak ada yang ditutup-tutupi. Begitu pula dengan kata hatinya. Farida tidak berusaha menjadi sosok mulia dengan buku itu, melainkan apa adanya.
Di tengah sakitDjenar Maesa Ayu yang menjadi editor buku menuturkan, keinginan Mama Fari — begitu ia menyapa Farida — menerbitkan buku sebenarnya sudah terpendam sejak lama.
“Buku ini sudah bertahun-tahun lalu jadi. Tapi baru setahun belakangan Mama Fari ngotot benar-benar ingin menerbitkannya,” ujar Djenar saat konferensi pers peluncuran buku. Saat itu, masih ada beberapa bagian yang harus diperbaiki. Farida pun fokus menuntaskan buku.
Padahal, saat itu kondisinya sudah sakit. “Beliau di rumah sakit, sudah dikateter. Tapi begitu saya di sebelahnya ngomong buku, semangatnya langsung kelihatan lagi,” ujar Djenar pada CNN Indonesia.
Mirna Yulistianti, editor sastra Gramedia tahu betul bagaimana semangat Farida begitu meluap saat menggarap bukunya. “Pertemuan pertama saya dengan Mama Fari sangat menggetarkan,” ia berkomentar. Farida datang ke kantor Gramedia di tengah sakitnya.
Namun, tak seorang pun termasuk Mirna tahu soal itu. “Setelah pulang, baru Djenar kasih tahu kalau Mama setelah itu masuk rumah sakit lagi. Jadi tadi ketemu hanya untuk tanda tangan kontrak buku, lalu balik lagi dirawat di rumah sakit,” tuturnya membeberkan.
Kata-kata yang berkilauanSemangat Farida yang menyala-nyala, juga tampak dalam tiap kata yang ia tulis. Sebagai editor, Mirna mengaku bisa menikmati tulisan Farida sebagaimana pembaca biasa. “Banyak kata dan pandangan Mama yang berkilauan di situ,” ucap Mirna memuji.
Kata-kata itu ia kumpulkan, lalu dijadikan kutipan menarik yang hadir di sela-sela buku. “Ini bukan sekadar biografi, tapi benar-benar menginspirasi,” kata Mirna menambahkan.
Jika boleh memberi saran, Mirna sangat merekomendasikan bagian akhir buku
Saya Farida: Sebuah Autobiografi. “Semua chapter hidup Mama spesial. Tapi ada bagian saat dia begitu bangga memiliki anak-anaknya. Itu ada di bagian akhir, semacam epilog,” katanya.
Diakui Djenar, bagian itulah yang memang paling sering membuatnya menangis. “Itu dia tulis saat sakit. Sepertinya itu konklusi hidup, bahwa dia telah menemukan cinta yang begitu besar, yaitu terhadap anak-anaknya. Saya mewek di situ,” ujar Djenar jujur.
Saya Farida: Sebuah Autobiografi sudah ada di toko buku sejak awal Agustus lalu. Buku inspiratif dengan tebal 296 halaman itu dijual seharga Rp 128 ribu.