Jakarta, CNN Indonesia -- “Pasar piringan hitam memang sangat spesifik, tetapi saya yakin penggemarnya akan selalu ada.”
Kata Jaun (50), salah seorang penjual piringan hitam di Jalan Surabaya, Jakarta itu benar adanya. Penjaja piringan hitam di kawasan penjual barang antik itu memang tak dominan. Menurut pengamatan
CNN Indonesia, Selasa (7/10) hanya ada tak lebih dari lima lapak.
Ukuran masing-masing tidak terlampau luas, hanya sekitar 3x4 meter. Namun, lapak-lapak itu mampu bertahan puluhan tahun. Kios Jaun dan lainnya sudah ada sejak 1960-an. Kebanyakan, itu merupakan usaha keluarga yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keluarga Mario Hasangapon (20), misalnya. Mario generasi ketiga yang mengurusi kios itu. “Mulanya, kakek saya yang membuka kios ini. Lalu, diwariskan ke ayah saya. Sementara saya hanya membantu jaga kios apabila tidak ada kuliah,” ujar mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana itu.
Kios yang dijaganya itu sudah berdiri lebih dari 40 tahun.
Menurut Mario, penggemar piringan hitam memang selalu ada, zaman ke zaman. Meski diakui, kini tetap tak sebanyak dahulu saat kakeknya masih hidup. “Kalau dibandingkan dengan zaman kakek, sekarang sudah sangat berkurang,” katanya menuturkan.
Senada dengan Mario, penjual piringan hitam lainnya, Lian (53) juga mengatakan penggemar piringan hitam memang tak semarak tahun 1960-an. Namun, akhir-akhir ini piringan hitam kembali menjadi tren.
“Beberapa artis sekarang mengeluarkan album piringan hitam, misalnya d'Masiv. Peminatnya juga mulai bertambah,” kata Lian yang meneruskan usaha ayahnya yang telah berdiri sejak 1964 itu.
Lian bercerita, sebagian besar pedagang piringan hitam di Jalan Surabaya memang merupakan generasi penerus. Ia sendiri mulai membantu usaha ayahnya sejak duduk di kelas 4 SD. “Ayah saya sangat menggemari piringan hitam. Perlahan, saya juga mulai suka,” katanya, kemudian tersenyum.
Koleksi Lian bervariasi. Mulai dari lagu keroncong, pop, jazz, metal, sampai rock. Musik Indonesia dan Barat, ia jual. Harganya pun bervariasi, antara Rp 20 ribu hingga Rp 4,5 juta. “Lagu The Beatles masih banyak dicari, begitu pula dengan lagu Indonesia tahun ’60 sampai ’70-an,” katanya.
Mengakrabi pelangganBagi Lian, salah satu kunci mempertahankan bisnisnya adalah menjaga hubungan baik dengan pelanggan. “Terkadang ada orang asing yang meminta saya mengantarkan piringan hitam ke hotel atau bandara. Saya lakukan agar pelanggan senang,” kata Lian mencontohkan.
Ia juga kerap menawarkan ‘barang bagus’ yang baru masuk kepada pelanggan. “Saking dekatnya dengan pelanggan, saya jadi tahu kesukaan masing-masing. Kalau ada yang kira-kira cocok dengan mereka, langsung saya kontak lewat telepon,” ujarnya.
Karena piringan hitam yang dijualnya adalah barang bekas, ia juga merasa harus menjelaskan kondisi barang sesuai dengan keadaan aslinya. Cara berjualannya jujur. “Kalau ada lecet sedikit saja harus beritahu agar mereka terus percaya pada saya,” tuturnya.
“Sini Mas, dicuci dulu tangannya supaya bersih dari debu,” ujar Lian di sela pembicaraan dengan
CNN Indonesia. Itu termasuk caranya mengakrabi pelanggan. Saat itu, seorang pengunjung, Bram Pradipta (22) baru saja melihat-lihat koleksi piringan hitam Lian.
Menurut Lian, perhatian kecil semacam itu kepada pengunjung, dapat berarti besar.
Digemari selebritiPengunjung kios Lian bukan hanya Bram yang merupakan warga biasa. Dari kios berukuran 3x4 meter, Lian juga berkesempatan bertemu artis dalam dan luar negeri. Misalnya, Sigur Ros dan Katy Perry. Buku catatannya penuh oleh tanda tangan para artis dan orang terkenal yang datang.
Sementara artis dalam negeri yang menjadi pelanggannya yaitu Vincent Club 80’s dan para personel band indie, White Shoes and The Couples Company. “Vincent sering sekali ke sini. Para artis sudah tahu standar harganya, jadi tak banyak menawar harga,” kata Lian menjelaskan.
Menurut Lian, 60 persen pelanggannya merupakan orang asing. “Pernah ada orang Jepang ikut saya terus ke kios sampai tiga bulan. Ia kemudian membeli 350 piringan hitam untuk dijual di Jepang serta memasangnya di kafe miliknya,” ujar Lian mengenang.
Ia menambahkan, orang Jepang yang menjadi pelanggannya suka mencari lagu Indonesia zaman dulu. “Saya sangat bangga mereka memutar lagu Indonesia di negerinya,” ucap Lian.
Bicara penghasilan, Lian mengakui duit yang dikantonginya memang tak pasti tiap hari. Terkadang dalam sebulan, ia bisa meraup untung Rp 20 juta. Terkadang bahkan ia bertemu pembeli yang mau membayar lebih. Namun bila sedang sepi, ia bisa hanya dapat Rp 300 ribu.
Langka tapi terawatTak mudah memburu piringan hitam di masa serba digital. Begitulah yang diakui Lian. Ia biasanya dapat dari orang-orang yang mendatangi kiosnya untuk menawarkan piringan hitam. Rata-rata, mereka merupakan generasi pewaris piringan hitam, tetapi tidak suka dengan koleksi itu.
Dengan hati-hati, Lian memasang piringan hitam lagu The Beatles,
A Hard Day's Night pada
turntable. Piringan hitam puluhan tahun itu langsung menghasilkan suara jernih ketika dipasang di pemutar yang sudah bernyawa listrik. Jelas saja, meski bekas, piringan hitam mulus tanpa cacat itu dirawat betul oleh Lian.
“Harus dirawat dengan benar supaya awet,” katanya sambil merapikan piringan hitam yang terbungkus rapi. Lian menjelaskan, piringan hitam harus diletakkan berdiri, jangan ditumpuk. Setiap seminggu sekali, piringan hitam harus dilap dengan kain kanebo. Selain itu, piringan hitam sebaiknya tidak diletakkan di tempat lembap.
Di tengah perbincangan itu, seorang pengunjung datang lagi. Bermodalkan senyuman, Lian menyapanya langsung. Diiringi alunan lagu The Beatles, aktivitas di kios itu pun terus berlangsung.