Jakarta, CNN Indonesia -- Ruangan itu nyaris tak muat untuk melangkah. Bukan hanya karena ukurannya yang sempit. Ia memang dipenuhi barang. Rak-rak tinggi berisi kaset menempel ke tiap sisi dinding. Poster-poster besar band legendaris juga dipajang. Di bagian tengah, bertumpuk alat-alat pemutar kaset.
Salah satu sudut menyediakan loker kayu bersusun warna putih. Masing-masing kotak berisi puluhan lembaran tipis piringan hitam yang dibungkus sampul kertas dan plastik. Tak jauh dari situ, teronggok pula beberapa pemutar piringan hitam. Mau mendengar musik apa, tinggal pilih.
Ruangan itu lebih mirip museum atau tempat penyewaan kaset dan piringan hitam ketimbang sebuah kamar. Padahal, sejatinya ruangan itu ada di dalam rumah I Nyoman Sudira, dosen jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ia memang pencinta musik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kaset, cakram optik padat alias CD, gitar, sampai piringan hitam menjadi objek koleksinya. Jangan bayangkan Nyoman seperti anak muda masa kini yang mengoleksi piringan hitam demi ikut-ikutan tren. Ia mengumpulkan format musik eksklusif itu sejak tahun 2000-an, dan mulai giat tahun 2005.
Ditemui
CNN Indonesia di Grand Indonesia, Jakarta, Minggu (5/10) lelaki 47 tahun itu menuturkan, tren piringan hitam melejit di luar negeri sekitar tahun 1960-an. Di Indonesia, itu tak populer. Harga piringan hitam dan pemutarnya yang melangit, menjadi kendala kala itu.
Setelah tidak terdengar gaungnya selama puluhan tahun, piringan hitam akhirnya kembali diburu. Citranya kali ini tak berubah, sebagai barang eksklusif.
“Awalnya saya mengoleksi kaset, saat orang-orang giat mengoleksi piringan hitam. Ketika orang-orang mengoleksi kaset, saya pindah ke CD. Dan saat zamannya CD, saya lari ke piringan hitam,” tutur Nyoman bercerita.
Saat ini, koleksi Nyoman sudah ribuan. Ada sekitar 3.500 keping piringan hitam yang disimpan di ruangan sempit di rumahnya tadi. Itu boleh dikunjungi, dilihat, bahkan dinikmati para tamu yang datang. Ruangan itu juga dilengkapi tujuh alat pemutar piringan hitam, baru maupun lawas.
Lain lagi dengan seribu keping piringan hitam yang ia simpan di sebuah tempat khusus. Koleksi yang itu eksklusif, tak boleh disentuh tamu. Isinya piringan-piringan langka yang amat digemari Nyoman.
Berburu keliling duniaMenjadi dosen memberi Nyoman kesempatan bepergian ke luar negeri. Kesempatan itu ia pergunakan untuk berburu piringan hitam dari berbagai negara. “Sekali pergi, misalnya kemarin ke Amerika dan Jepang, saya bisa bawa pulang seratus keping,” ujar Nyoman mengungkapkan.
Meski piringan hitam terdiri atas berbagai jenis, Nyoman tak punya syarat khusus untuk memasukkan sebuah
vinyl menjadi bagian dari koleksi. Dari lagu keroncong Bali sampai musik tarian Spanyol, Nyoman doyan mengumpulkan dan mendengarkan. Asal, piringan hitam itu tidak bajakan.
Menurut Nyoman, mencari piringan hitam musisi Indonesia jauh lebih sulit dan langka dibandingkan musisi luar negeri. Sebab, ia menerangkan, sudah sangat sedikit studio yang memproduksi piringan hitam di negeri ini. Sedang di luar, band tetap memproduksi piringan hitam saat merilis album.
Belakangan, saat piringan hitam kembali tren, hasrat Nyoman untuk memburunya justru mulai mereda. Sebab, banyaknya kolektor dadakan bisa membuat harga piringan hitam melambung.
“Untuk yang biasa-basa saja, bisa Rp 300 ribu satu kepingnya. Koleksi tertentu bisa jutaan,” katanya. Padahal, saat awal mula mengoleksi piringan hitam, Nyoman bisa membelinya dengan harga jauh lebih murah. Ia pernah dapat piringan hitam dengan harga Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu per keping.
Meski begitu, bukan berarti Nyoman berhenti mendengar musik lewat piringan hitam. Ia tetap gandrung, karena menurutnya kualitas suara yang dihasilkan piringan hitam tak bisa ditandingi kaset maupun CD. Kata Nyoman, mendengar piringan hitam membuat telinganya serasa dipijat.
“Di antara kaset, CD, dan piringan hitam saya paling sering mendengarkan piringan hitam, lalu kaset, dan pilihan terakhir saya adalah CD,” katanya.
Merawat berhari-hariRibuan koleksi Nyoman tidak dibiarkan terlantar. Ia menganggapnya bagai buah hati sendiri. Nyoman sampai meluangkan berhari-hari untuk merawat dan membersihkan piringan hitamnya. Itu harus dilakukan jika kondisi piringan hitamnya buruk. Untuk itu, ia punya peralatan khusus.
Kadang Nyoman membersihkan dengan sabun biasa. Lalu, dilanjutkan cairan pembersih khusus.
“Sebenarnya piringan hitam tidak terlalu memerlukan banyak perawatan, karena pada dasarnya mereka lebih tahan lama dan kuat jika dibandingkan dengan CD,” Nyoman mengungkapkan.
Alat pemutar piringan hitam, disebutkan Nyoman, juga tidak terlalu banyak membutuhkan perawatan. Perawatan paling maksimal hanya mengganti jarum dan karetnya. “Tapi itu jarang. Satu jarum itu bisa memutar ribuan keping dan tidak rusak,” kata Nyoman menjelaskan.
Pernah suatu ketika, Nyoman lupa mematikan alatnya. Selama tiga hari, ia meninggalkan alat itu menyala. Ajaib, alat itu tidak panas maupun rusak. Menurutnya alat pemutar atau fonograf terbaik berasal dari Swiss.