KOLEKSI PIRINGAN HITAM

Menelusuri Jejak Piringan Hitam di Indonesia

CNN Indonesia
Selasa, 07 Okt 2014 13:32 WIB
Pada masanya, piringan hitam adalah teknologi mutakhir untuk merekam audio. Seiring kemajuan zaman, eksistensi piringan hitam tergerus era musik digital.
Ilustrasi (GettyImages/GitteMoller)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pada masanya, piringan hitam adalah teknologi mutakhir untuk merekam audio. Seiring kemajuan zaman, muncul pita kaset, lantas disusul cakram optik padat atau CD. Eksistensi piringan hitam pun tergerus era musik digital.

Tinggal segelintir orang yang masih gandrung mendengar musik lewat piringan hitam. Bagi mereka, itu artefak yang patut dipuja. Seiring roda zaman berputar, gelintir itu perlahan membukit. Kini, piringan hitam tren lagi.

Namun mungkin tak banyak dari mereka yang tahu, kapan jejak industri rekaman di Nusantara bermula. Pemerhati musik, Denny Sakrie menjelaskan, industri musik sudah ada sejak masa kolonialisme, tepatnya tahun 1905.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tio Tek Hong, pedagang asal bumi Tiongkok, yang meletakkan jejak pertama industri rekaman di Indonesia. “Tadinya dia mengimpor piringan hitam untuk gramofon dari Amerika. Lama-kelamaan tertarik memproduksi sendiri,” kata Denny saat berbincang dengan CNN Indonesia di Kemang, Jakarta, Jumat (3/10).

Dari gedung di kawasan Passer Baroe atau Pasar Baru, Tio Tek Hong merekam lagu-lagu populer dari beragam aliran saat itu. Keroncong, gambus, hingga kasidah. Lagu-lagu itu direkam dalam bentuk piringan hitam berukuran 10 inci.

Ia lalu mengedarkan keping piringan hitam buatannya ke seluruh nusantara.

Pascakemerdekaan Indonesia, beberapa industri rekaman mulai bermunculan. Diawali dengan berdirinya Irama Records di Jakarta pada 1954. Perusahaan itu didirikan Suyono Karsono setelah ia pensiun dari dinas kemiliteran di Angkatan Udara.

Piringan hitam pertama yang dirilis Irama Records adalah album Sarinande (1956) karya The Progressif, band beraliran jazz yang digawangi oleh Nick Mamahit (piano).

Tahun 1961, Irama Records merilis Semalam di Malaya karya Orkes Studio Djakarta. Rilisan itu sekaligus menandai piringan hitam stereo pertama di Indonesia. Musisi-musisi ternama saat itu, seperti Bing Slamet dan Sam Saimun, tak luput digandeng Irama Records.

Sayang, Irama Records harus menghentikan aktivitas produksinya pada 1967. Suyono Karsono lalu mendirikan radio amatir dan menjadi operator sekaligus penyiar. Radio itu ia beri nama sama dengan nama putrinya, Elshinta.

Studio Lokananta

Jejak industri rekaman Indonesia juga tak luput dari peran studio Lokananta yang ada di kota Solo. Berdiri pada 29 Oktober 1956, Lokananta adalah bagian dari Djawatan Radio Republik Indonesia yang bertugas memproduksi piringan hitam untuk bahan siaran RRI di seluruh wilayah Indonesia.

Tahun 1959, Lokananta akhirnya memperoleh izin menjual piringan hitam produksinya ke masyarakat luas. Lokananta lebih banyak memproduksi rekaman lagu-lagu tradisional dari berbagai daerah seperti gamelan, klenengan Solo dan Yogyakarta, serta gending Bali.

Tak hanya itu, karena Lokananta adalah perusahaan milik pemerintah, rekaman pidato Presiden Soekarno juga diproduksi di sana. Malahan, rekaman lagu Indonesia Raya versi tiga stanza yang sempat menjadi polemik beberapa waktu lalu, dikabarkan juga disimpan di Lokananta.

Nama besar seperti Gesang dan Waldjinah pun tercatat merekam lagu-lagu mereka di sana.

Pada 1961 status Lokananta berubah dari djawatan menjadi perusahaan negara. Sempat hampir dinyatakan pailit, pada 2004 silam, kepemilikan Lokananta berpindah di bawah otoritas Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) cabang Surakarta.

Kini, gedung Lokananta masih berdiri kokoh menjadi saksi industri rekaman di Indonesia. Namun seiring perkembangan industri musik digital, tak banyak lagi aktivitas produksi yang dilakukannya.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER