Jakarta, CNN Indonesia -- Agaknya tak ada orang yang tak menyukai unsur erotika, yang antara lain disisipkan dalam novel fiksi. Setidaknya demikian pandangan Seno Gumira Ajidarma.
“Justru unsur erotika ada, karena orang menyukainya,” kata sang penulis kepada
CNN Indonesia via sambungan telepon (22/12). “Keberadaan manusia di muka bumi tak terlepas dari erotika.”
Menurut penulis yang baru saja merilis buku
Senja dan Cinta yang Berdarah (2014) ini, sah-sah saja bila penulis menyisipkan unsur erotika dalam novelnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan nada bicara lempeng, Seno menganggap unsur erotika dalam novel adalah hal biasa, dan memang selalu ada. Namun ia mengelak bila dikaitkan dengan unsur komersil.
“Erotika adalah suatu cara yang sah ditampilkan dalam buku,” kata peraih SEA Write Award (1997), Dinny O’Hearn Prize for Literary Translation (1997), Khatulistiwa Literary Award (2004 dan 2005).
Sekalipun sah, bukan lantas menjurus pornografi. Menurut Seno, semua tergantung niat si penulis: apakah ingin menyajikan erotika atau pornografi.
“Kalau pornografi jelas niatnya untuk merangsang, ujug-ujug ‘begitu’ saja,” kata Seno. “Kalau niatnya bukan menjebak orang untuk terangsang ya, bukan pornografi.”
Seno mencontohkan dua karya favoritnya, cerpan atau novelette
Sri Sumarah dan cerpen
Musim Gugur Kembali di Connecticut, karya Umar Kayam, yang disebutnya, “menyisipkan unsur erotika dengan bagus dan menarik.”
“Sesaat sentuhan kulit menggetarkan seluruh syaraf Tono. Dirabanya seluruh tubuh istrinya. Diciumnya istrinya dengan penuh keberahian.” Demikian secuplik
Musim Gugur Kembali di Connecticut.
Umar juga menuliskan dalam novel tersebut, “Dan waktu istrinya menanggapi dengan panasnya berahi yang sama, seonggok gelombang nafsu menggulung kedua tubuh itu….”
Sementara di Sri Sumarah, Umar menuliskan, “Mas Martokusomo laki-laki tempat dia menumpahkan bekti dan cintanya. Karena itu Sri lebih bisa membayangkan senyumnya, nada dan lagu suaranya serta juga bau tubuhnya….”
Sekalipun sarat unsur erotika, Seno menilai, tulisan Umar ini tidak tergolong pornografi, karena sedari awal memang tidak diniatkan untuk merangsang berahi pembacanya.
Lagipula, Seno menambahkan, adegan “keterbukaan” tidak bisa begitu saja dituding sebagai vulgar, karena kadarnya sendiri sangat bermacam-macam.
Terlepas seberapa pun kadarnya, unsur erotika dalam novel karya penulis Indonesia akan selalu ada, dan orang menyukainya. “Kalau ada yang enggak suka,” kata Seno, “munafik itu.”