Jakarta, CNN Indonesia -- Adegan-adegan vulgar mulai terselip di dalam novel Indonesia. Mulai dari ciuman hingga adegan ranjang, begitu detail dideskripsikan. Semua itu dikemas berdasarkan imajinasi, ditambah inspirasi dari kehidupan sehari-hari.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, J.F. Warouw menganggap fenomena itu sebagai bagian dari perkembangan masyarakat yang bergerak ke arah pemikiran rasional dan sekuler.
"Konsumen sudah berubah. Tidak lagi melihat dari segi moral. Mereka menginginkan variasi agar tidak monoton," kata Warouw saat dihubungi CNN Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan, dahulu pembaca novel lebih menyukai cerita religi dan romantis. Namun kini, masyarakat berubah ke arah sekuler dan lebih menyukai konten yang vulgar.
"Kalau tidak ada itu (adegan vulgar) jadi kurang," ujar Warouw menjelaskan.
Salah satu kelompok yang paling jelas terkena dampak sekulerisme adalah anak muda. "Masalahnya generasi muda sudah berubah. Mereka sering kali blak-blakan ngomong masalah seksual. Novel yang seperti itu muncul karena sesuai dengan permintaan masyarakat," ujarnya.
Permintaan itu semakin banyak melihat sifat pemuda yang mudah diiming-imingi dan terbawa arus pergaulan. Anak muda dengan nilai moral dan religius tinggi pun akhirnya terpengaruh dan mulai mengalami pergeseran nilai.
"Mereka yang seperti itu sering kurang pergaulan. Jika tidak mengikuti tren, mereka akan dianggap kuno. Akhirnya mereka pun mengikuti tren yang ada," tutur Warouw lagi.
Perkembangan biologis generasi muda yang lebih cepat juga dianggap Warouw menjadi faktor pendorong perubahan cerita pada novel.
"Generasi muda mengalami fertilitas lebih dini. Sejalan dengan itu, novel yang ada berubah,"kata Warouw.
Mempertanggungjawabkan erotikaSebenarnya, konsep vulgar atau tidak vulgar, menurut Warouw ada karena perbedaan nilai yang dianut masyarakat. Ada masyarakat tradisional yang masih kuat nilai moral dan agamanya. Mereka menganggap adegan vulgar sebagai hal yang tidak boleh diungkapkan secara nyata.
Sementara masyarakat modern dan postmodern, menganggap hal-hal vulgar boleh diekspos karena tidak melulu mengarah pada pornografi.
"Masalahnya adalah bagaimana kita melihatnya. Ada yang melihat sebagai pornografi, ada yang melihat sebagai seni dan keindahan. Ada pro dan kontra di situ," ujar Warouw.
Di luar dua kubu itu, Warouw mengakui bahwa budaya vulgar tidak sesuai dengan Indonesia yang menganut adat ketimuran. Untuk itu, perlu pembenahan. Harus ada yang bertanggung jawab.
"Yang harus dilihat, ada tidak kode etik untuk mempertanggungjawabkannya, bahwa Indonesia berbeda dengan negara lain. Soalnya kita masih membangun karakter. Ini bisa menimbulkan pro dan kontra yang panjang," Warouw menjelaskan.
Warouw sendiri memprediksi, novelis yang gemar memuat konten vulgar nantinya akan melakukan introspeksi. Gambaran-gambaran vulgar pun tidak terlalu banyak ditonjolkan lagi. Sebab, bagaimana pun desakan masyarakat yang masih memegang teguh nilai moral lebih kuat.
Peran serta orang tua dan pemerintah juga diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan ini. Orang tua harus pandai mengawasi bacaan-bacaan anaknya. Jangan asal senang karena sang sanak suka membaca buku, padahal tidak tahu buku apa yang dibacanya.
Kontrol dari pemerintah terhadap perubahan dunia sastra dan novel-novel dengan konten dewasa itu juga dinilai perlu. Agar, anak-anak yang belum masuk usia dewasa tidak membacanya.
"Di Barat novel seperti itu dijual terbatas, ada di tempat kumpulan buku '
Adult'. Kalau di kita belum ada seperti itu," katanya prihatin.