Jakarta, CNN Indonesia -- Publik Amerika masih bereaksi terhadap dibatalkannya penayangan film
The Interview. Diduga kuat, Sony Pictures membatalkannya terkait ancaman peretasan yang kabarnya dilakukan Korea Utara. Itu berkaitan dengan konten film yang menyinggung Kim Jong Un, pemimpin diktator dari Korea Utara.
Bahkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama menentang pembatalan penayangan
The Interview. "Kita tidak bisa memiliki masyarakat di mana seorang diktator dari suatu tempat bisa mulai penyensoran di sini, Amerika Serikat," katanya, seperti dikutip dari situs berita
Time.Obama mungkin tidak menyadari,
The Interview bukan film Hollywood pertama yang digonjang-ganjing penyensoran yang diduga dilakukan diktator negara lain. Jauh sebelum Kim Jong Un memimpin Korea Utara, sekitar tahun 1930, rezim Nazi pun mengontrol produksi film-film Hollywood.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keputusan Hollywood untuk tunduk pada Nazi, seperti halnya Sony Pictures yang tak berdaya melawan Korea Utara, juga didasari ancaman terorisme. Tentu, kala itu bukan peretasan siber.
Mengutip situs
Time, sekitar 5 Desember 1930, kelompok yang berisi 300 pasukan Nazi dan dipimpin oleh Goebbels melempar bom dan bubuk bersin ke kerumunan orang di teater di Berlin. Itu dilakukan sebagai wujud protes untuk film
All Quiet on the Western Front.
Beberapa bulan kemudian, Universal Pictures, studio besar di Hollywood yang memproduksi film itu melakukan sembilan pemotongan penting untuk menyenangkan pemerintah Jerman. Pemotongan itu tak hanya di Jerman, tapi juga seluruh dunia.
Sejak itu, kekuatan Jerman semakin bercokol di industri perfilman Amerika. Perwakilan Nazi di Los Angeles bisa seenak hati mendatangi studio-studio Hollywood dan menentukan adegan mana saja yang boleh tayang dan tidak. Ironisnya, Hollywood menurut.
Apa sebabnya? Pertimbangan bisnis. Studio-studio besar seperti Universal Pictures, Warner Bros, atau 20th Century Fox tidak mau mengambil risiko kehilangan penonton di Jerman. Mereka ingin melanggengkan bisnis di negara Nazi. Mengingat itu, tak heran bagaimana film-film Hollywood sekarang merepresentasikan Jerman.
Konsekuensi dari tunduknya dunia perfilman Amerika pada Jerman kala itu, mengerikan. Kemerdekaan Amerika bagai hal semu. Mereka tak bisa menyuarakan fakta tentang Adolf Hitler, pemimpin Nazi. Waktu itu, tidak ada satu pun film tentang Nazi membantai bangsa Yahudi.
Tahun 1993, Hollywood membatalkan penayangan
The Mad Dog of Europe. Film tentang pembantaian ras itu ditulis oleh Herman J. Mankiewicz, yang juga penulis skenario untuk
Citizen Kane. Meski tidak menyebut Nazi, tetap dilarang.
Hollywood masih terjajah selama bertahun-tahun kemudian. Sekitar tahun 1936, Metro Goldwyn Mayer (MGM) Studios membatalkan penayangan
It Can't Happen Here, yang mengisahkan kemungkinan masuknya fasisme ala Nazi ke Amerika. Film itu diadaptasi dari novel karya Sinclair Lewis.
"Saya menulis
It Can't Happen Here. Tapi saya mulai berpikir itu (fasisme) benar-benar bisa terjadi di sini," ucapnya berkomentar kala itu.
Kontrol ketat di dunia film masih berlanjut. Tahun 1937, Universal memunculkan sekuel
All Quiet on the Western Front. Perwakilan Nazi di Los Angeles langsung mengirimkan surat ancaman ke 60 kru dan pemain yang terlibat proses produksi. Bahkan, termasuk bagian
wardrobe.
Karena terintimidasi, film itu lagi-lagi disunting dengan sangat dramatis. Pemotongan ekstrem dilakukan di sana-sini.
Franklin D. Roosevelt yang kala itu menjabat sebagai presiden pun tak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa mendukung dengan penuh hati saat Charlie Chaplin membua
t The Great Dictator, komedi satire untuk Hitler. Namun itu disampaikan secara personal, bukan di depan publik seperti apa yang dilakukan Obama.
Kini, hampir satu abad kemudian, pengontrolan terhadap Hollywood kembali terjadi. Subjeknya bukan Nazi, melainkan Korea Utara. Yang juga membedakan, adalah pemberontakan rakyat Amerika. Kali ini hampir semua masyarakat bersuara menentang keputusan Sony. Selebriti menyayangkan
The Interview dibatalkan. Dan, Sang Presiden pun bersuara lantang.