Jakarta, CNN Indonesia -- Menyebutkan nama penulis perempuan di Indonesia jauh lebih mudah ketimbang penulis lelaki. Jumlah mereka memang lebih banyak. Itu diakui Hetih Rusli, editor fiksi Gramedia Pustaka Utama. Tapi, itu hanya berlaku di Indonesia.
Kepada CNN Indonesia Hetih menjelaskan, itu karena paradigma masyarakat yang masih patrilineal. Bagi Indonesia, mencari nafkah adalah amanat yang diemban para pria. Sementara penulis, masih dianggap profesi sampingan.
"Kita masih harus punya pekerjaan utama. Karena pekerjaan penulis enggak selamanya jadi harapan tulang punggung keluarga," ujarnya. Semandiri apa pun perempuan, laki-laki tetap punya citra dan tanggung jawab lebih di lingkungan sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau mau jadi penulis, laki-laki akan berpikir, sanggup atau tidak biayai keluarga," lanjut Hetih. Fakta itu berbeda dengan yang ada di negeri Barat, seperti Amerika Serikat atau Inggris. Di sana, penulis lebih banyak lelaki.
Penulis seperti Stephen King, John Green, atau Nicholas Sparks sudah tak perlu pekerjaan utama karena sukses sebagai penulis. "Nulis satu buku saja bisa menghidupi keluarga sampai kenyang banget. Oplah di sana dan di sini beda lho," ucapnya.
Terjual 100 ribu eksemplar di luar negeri, sudah termasuk penulis menengah. Mencapainya pun tidak sulit. Sementara di Indonesia, terjual lima ribu eksemplar saja sudah sangat beruntung. Itu pun bisa terjadi tahunan.
"Di sana, 10 ribu sudah kayak enggak laku. Di sini, sudah bikin selametan," katanya lagi, menambahkan. Itu berhubungan dengan minat baca. Keluarga yang berjalan-jalan ke mal lebih memilih membelikan anaknya kopi seharga Rp 40 ribu atau Rp 50 ribu ketimbang buku.
"Di Jepang, di mana-mana baca buku. Di Indonesia, orang lebih memilih
ngobrol, chatting, main
Twitter, browsing. Membaca belum menjadi budaya," ujar Hetih membandingkan.
Bukan hanya itu, negeri Barat juga serius mencetak penulis. Ada sekolah khusus untuk belajar menulis, sehingga secara teknis sudah terasah. Sedang penulis Indonesia, bahkan yang sudah menghasilkan karya, masih banyak kesalahan teknis seperti penggunaan titik-koma, tanda kutip, EYD, dan sebagainya.
"Kalau mengikuti standar Amerika, naskah yang masuk bisa ditolak semua. Di sekolah, penghargaan terhadap bahasa Indonesia itu kurang. Orang lebih bangga anaknya bisa bahasa Inggris," tutur Hetih lagi, menjabarkan.
Nama panggungBanyaknya penulis perempuan di Indonesia, juga berkaitan dengan perbandingan pengonsumsi novel. Karena perempuan lebih punya banyak waktu, mereka juga lebih banyak jadi pengonsumsi novel ketimbang lelaki.
Karena itu, cerita-cerita dan nama penulis kadang harus dibuat ala 'perempuan'. Kalaupun ada penulis laki-laki yang menulis novel cinta, pihak penerbit akan meminta menggunakan nama panggung. Itu untuk kebutuhan daya jual.
"Misalnya namanya Bambang atau Joko, nulis novel cinta, mau baca? Kami harus ganti, jadi Sherley atau Jennifer. Itu berkaitan dengan citra. Sengaja, buat menjual," ucap Hetih.
Sebaliknya, penulis di Amerika Serikat atau Inggris justru berlomba-lomba menjadi 'lelaki'. Salah satu contohnya: J.K. Rowling. Saat merilis Harry Potter, Rowling menggunakan inisial J.K. agar seperti lelaki.
"Supaya enggak kelihatan perempuan. Karena kalau yang nulis perempuan, dinilai enggak becus. Di sana citranya penulis laki-laki lebih bagus, kalau perempuan seperti 'emak-emak'," katanya menuturkan. Bahkan dalam novel detektifnya, Rowling mengubah nama menjadi Robert Galbraith, yang jelas-jelas nama lelaki.
"Tapi kalau Harlequin, enggak ada laki-laki kan? Karena novelnya identik dengan perempuan. Meskipun ada penulis laki-laki," lanjutnya.