Sengkarut Perkara Lisensi Rumah Bernyanyi

CNN Indonesia
Selasa, 27 Jan 2015 12:05 WIB
Musikus mendukung UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tapi masih ada segudang permasalahan bisnis karaoke. Perkara lisensi, dan lembaga pemungut royalti.
Ilustrasi karaoke (Jose Luis Pelaez Inc/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bisnis karaoke atau rumah bernyanyi menggiurkan bagi para selebriti. Apalagi kini, menyanyi bersama kolega atau kerabat semakin membudaya. Uang yang didapat dari bisnis karaoke tidak sedikit. Pada hari kerja saja, tarif yang dikenakan sekitar Rp 80 ribu per ruangan.

Belum lagi kala akhir pekan. Tarifnya bisa sampai menembus Rp 100 ribu per ruangan. Satu rumah bernyanyi, bisa berisi puluhan ruangan.

Namun pemilik bisnis karaoke sering tidak memperhatikan kewajibannya. Persoalan lisensi lagu menjadi lagu lama yang terus berulang-ulang. Pemilik rumah karaoke kerap dikecam dan digiring ke pengadilan, karena tidak memiliki lisensi atas lagu-lagu milik banyak musisi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(Baca juga: Angin Segar bagi Musisi Tanah Air di Rumah Bernyanyi)

Lihat saja yang terjadi pada Inul Daratista, sekitar tahun 2013. Pemilik rumah bernyanyi Inul Vizta itu bermasalah dengan Karya Cipta Indonesia (KCI). Persoalannya sama, perkara lisensi lagu. Inul dianggap tidak membayar pada pemilik lagu, setiap kali musik mereka dimainkan di rumah bernyanyinya.

Kasus Inul versus KCI, sampai dimejahijaukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Hasilnya, gugatan KCI ditolak. Tak lama setelah itu, Inul dan KCI berdamai dengan membuat perjanjian baru. Nominal pembayaran lisensinya diubah.

KCI sendiri merupakan 'rumah lisensi' bagi lagu ciptaan musikus. Pada tahun itu, Ketua KCI Dharma Oeratmangun menjelaskan ada sekitar 130 ribu lagu yang bernaung di KCI. Hampir 85 persen asli Indonesia. Untuk semua lagu, KCI menerapkan tarif Rp 3,5 juta per tahun.

"Tapi itu tarif terendah di dunia. Itu sudah diskon 70 persen per ruangan," Dharma pernah mengatakan. Kasusnya dengan Inul Vizta meruncing, saat KCI ingin memberlakukan pembaharuan tarif, namun Inul menolak. Perdamaian terjadi, saat akhirnya kedua belah pihak menyepakati nominal tertentu, bersama.

Kasus semacam Inul Vizta bisa berulang lagi. Apalagi lembaga yang dipercaya dan berhak mengumpulkan royalti lagu dari masing-masing musikus tidak hanya KCI. Masih ada lembaga lain seperti Wahana Musik Indonesia (WAMI), Rumah Musik Indonesia (RMI), Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asirindo), dan sebagainya.

Jusak Irwan Sutiono, Direktur Asirindo mengatakan, pihaknya menaungi 81 perusahaan rekaman di Indonesia. Namun, baru segelintir rumah bernyanyi yang memegang lisensinya.

"Selain NAV yang punya lisensi Asirindo hanya Anang Karaoke. Masterpiece Ahmad Dhani, mudah-mudahan. Doakan saja Februari ini selesai mengurus proses Ahmad Dhani," ujarnya saat ditemui di Kuningan, Jakarta, Senin (26/1).

(Baca juga: Rumah Bernyanyi Berlisensi, Apresiasi bagi Musisi)

Bukan hanya itu, masalah yang membelit bisnis karaoke juga disebabkan banyaknya CMO (Colleting Management Organization) yang 'meminta jatah'. Inul Vizta misalnya, bukan hanya harus membayar pada KCI. Itu yang pernah diakui Inul, memberatkan bagi pihaknya.

Situs Hukum Online pernah menyebut, lembaga kolektor royalti yang bertumpuk bisa membuat tumpang tindih. Di Amerika, ada setidaknya tiga lembaga yang 'memungut' royalti dari rumah bernyanyi. Di Indonesia bisa lebih. Itu pun tidak jelas batas kewenangan masing-masing.

Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang belakangan didukung banyak musikus dalam negeri, memang membawa angin segar. Sebab bukan hanya mengatur royalti pencipta lagu, tetapi juga pihak terkait seperti produser rekaman serta penyanyinya sendiri.

Kelak setiap pengguna karaoke, akan mendapat nota pembayaran royalti untuk lagu-lagu yang dinyanyikan. Bukan hanya sewa ruangan, pelayanan, dan makanan serta minuman. Namun tetap saja, UU itu belum mengatur lembaga yang berhak menarik royalti dari rumah bernyanyi.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER