Jakarta, CNN Indonesia -- Hari Film Nasional yang jatuh tepat hari ini (30/3) mengingatkan akan nasib perfilman nasional yang masih simpang siur meskipun banyak mengalami kemajuan.
Kekisruhan kasus delegasi bodong Berlinale yang berujung dicopotnya Direktur Pengembangan Film Armien Firmansyah, dan perebutan kekuasaan internal Lembaga Sensor Film pada awal Maret lalu menjadi beberapa contoh cerminan kacaunya kondisi perfilman Indonesia.
Pada 23 Maret lalu, sineas perfilman dikagetkan dengan adanya publikasi pendirian Yayasan Rumah Film Indonesia oleh Armien Firmansyah dan kawan-kawan dan mencatut beberapa nama sineas kawakan seperti Tio Pakusadewo, Mathias Muchus, Slamet Rahardjo dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Aktor Tio Pakusadewo bertekad mengurai benang kusut sinema nasional. (CNNIndonesia/Endro Priherdityo) |
"Saya tidak tahu menahu soal yayasan tersebut, tapi kemudian saya mengetahui bahwa 70 persen dari nama-nama tersebut dicuri semua namanya," ujar Tio kepada CNN Indonesia (30/3).
Mengetahui namanya digunakan tanpa izin oleh sekelompok orang mengatasnamakan perfilman Indonesia, Tio berang. Ia kemudian menghubungi pihak ketua YRFI, Evry, untuk meminta konfirmasi. Namun sayang, Tio belum mendapatkan penjelasan memuaskan hingga detik ini.
Rebutan GedungTio mengakui, bahwa kekesalannya bukan hanya penggunaan nama-nama tanpa izin dengan dalih perfilman Indonesia, tetapi juga menyangkut penggunaan Gedung Film sebagai kantor yayasan tersebut.
"Nama-nama pendiri yayasan tersebut adalah nama-nama yang sebelumnya kami, sebagai sineas, permasalahkan," kata Tio. "Dan mereka tidak punya hak untuk menempati dan berkantor di Gedung Film, harusnya ditempati oleh orang film."
Tio menyayangkan penggunaan Gedung Film yang berlokasi di Jalan MT Haryono, Pancoran, tersebut untuk kantor lembaga di luar insan perfilman. Padahal, di dunia perfilman nasional, banyak lembaga insan film yang masih lebih membutuhkan ketimbang yayasan yang didirikan oleh mantan pejabat film tersebut.
Lembaga-lembaga perfilman di Indonesia secara resmi berada di bawah Badan Perfilman Indonesia (BPI). Lembaga tersebut seperti Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), Asosiasi Produser Film Indonesia (APFI), Rumah Aktor Indonesia (RAI), dan Sinematografer Indonesia (SI).
"Dahulu ketika masih ada Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang diketuai oleh Slamet Rahardjo, dialah yang mengupayakan supaya Gedung Film ini dapat digunakan oleh orang film dan lembaga-lembaga film untuk memperjuangkan serta melestarikan film Indonesia," kata peraih dua Piala Citra ini.
Sejak BP2N tidak lagi ada, Tio mengakui kejelasan penggunaan gedung tersebut menjadi abstrak. Bahkan, penggunaan APBN yang memberikan jatah untuk BPI mengembangkan film nasional juga ikut-ikutan abstrak.
Kini Gedung Film yang memiliki delapan lantai tersebut memang jarang berisikan kegiatan yang dapat menunjang aktifitas perfilman, seperti
workshop hingga pemutaran film. Gedung tersebut kini tak ubahnya gedung perkantoran yang akan terisi manusia mulai pukul tujuh pagi hingga enam sore.
Maju ke MendikbudKegerahan Tio dan para sineas film Indonesia akan ketidakjelasan nasib perfilman Indonesia yang sudah memasuki umur ke-65 tahun ini mengantarkan tekad untuk menemui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan selaku pemegang nasib perfilman Indonesia.
"Rencananya tanggal 27 April nanti akan bertemu dengan Mendikbud untuk membahas perfilman Indonesia," kata Tio.
Tio bersama sineas perfilman yang lain akan menjabarkan permasalahan perfilman nasional untuk melihat benang kusut yang menjadi penghambat majunya perfilman nasional. Tidak hanya menjabarkan, Tio dan tim juga berniat memberikan arahan rancangan perfilman nasional untuk dapat berkembang.
"Permasalahan ini harus diurai dulu semuanya, kalau tidak begitu tidak akan bisa, semua orang memiliki kepentingan, lebih baik buat
blue print lalu diberikan kepada menteri guna diputuskan."
Pertemuan dan keputusan Anies Baswedan terkait perfilman nasional, apa pun itu, akan menentukan babak drama baru dari kisah layar lebar nasional yang kini sudah hampir berkepala tujuh, selisih tiga dekade dari industri Hollywood yang kini menjadi referensi perfilman dunia.
(end/vga)