Penghargaan bagi Ketangguhan 3 Lansia di Lereng Merapi

Rahmi Suci | CNN Indonesia
Senin, 23 Mar 2015 17:01 WIB
Digdaya Ing Bebaya mengisahkan tentang tiga lansia di lereng Gunung Merapi yang tangguh. Mereka menolak direlokasi pasca erupsi.
Tiga lansia di lahan bekas erupsi Merapi di film Digdaya Ing Bebaya. (Dok. XXI Short Film Festival)
Jakarta, CNN Indonesia -- "Penghargaan ini saya persembahkan kepada tiga orang nenek yang saya filmkan karena merekalah yang mengajarkan saya tentang keberanian. Terima kasih," kata B. W. Purba Negara usai menerima penghargaan di atas pentas Malam Penghargaan XXI Short Film Festival 2015, Minggu (22/3) di Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta.

Malam itu, Digdaya Ing Bebaya (2014), film pendek dokumenter yang disutradarai Purba meraih dua penghargaan. Hal itu menjadikan lelaki yang juga akrab disapa Bewe dan Wregas Bhanuteja sebagai sineas yang meraih lebih dari satu penghargaan di XXI Short Film Festival 2015.

"Yang pasti saya senang tapi saya merasa kalaupun ini dianggap menang saya sama sekali enggak hebat, yang hebat adalah orang-orang yang saya filmkan," kata Purba ditemui CNN Indonesia usai acara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Digdaya Ing Bebaya alias Of the Dancing Leaves mengisahkan tentang warga di lereng Gunung Merapi yang menolak direlokasi usai bencana meletusnya gunung api tersebut.

Tiga orang nenek yang sehari-hari mencari daun pegagan dipilih Purba sebagai tokoh yang secara khusus mampu mewakil warga korban erupsi Merapi.

"Kenapa saya memilih mereka karena selama ini kalau kita bicara penanggulangan bencana, lansia dan wanita itu dianggap kaum rentan," ujarnya.

Sutradara yang juga menjadi relawan saat erupsi Merapi ini menambahkan, "Lewat film ini, saya ingin menunjukkan bahwa di Merapi, kaum rentannya itu berdaya, tangguh."

Purba menyebut proses pembuatan film Digdaya Ing Bebaya sangat menantang karena tak mudah mendapatkan gambar yang bagus dan komunikatif. Ia dan timnya harus mengikuti perjalanan tiga nenek naik turun bukit.

"Saat syuting itu enggak kemudian hari pertama dapat momen bagus. Awal-awal, banyak momen yang direkam dengan tidak layak karena kita kelelahan dan untuk merekam momen tertentu kan kita harus cari lokasinya, misalnya di bukit seberangnya," kata sineas yang telah banyak menghasilkan film pendek itu.

Menurutnya, proses syuting menghabiskan waktu selama 10 hari sedangkan riset dilakukan selama satu bulan. Purba sendiri bukan orang baru di ranah film pendek. Film pendek fiksi pertamanya berjudul Cheng-cheng Po (2007) meraih Piala Citra pada 2008.

Korban Merapi yang dianggap rentan justru menunjukkan ketangguhan (Dok. XXI Short Film Festival)
"Saya berharap kita bisa menumbuhkan dokumenter yang menggerakkan dan menarik. Dan semoga apresiasinya juga semakin membaik," kata peraih Piala Citra 2011 kategori Film Fiksi Pendek untuk film Bermula dari A (2011) itu.

Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) yang belajar membuat film secara autodidak itu kini sedang mempersiapkan film panjang pertamanya yang berjudul Ziarah. Film itu dia sutradarai dan produseri sendiri.

"Saya produksi film itu dengan modal nekat. Saya berangkat syuting dengan modal saya menabung hadiah film-film pendek saya yang menang di mana-mana. Saya tabung untuk film panjang itu," katanya antusias.

Film tersebut diharapkan Purba akan rilis di bioskop pada 2016 mendatang.

(vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER