Eka Kurniawan, Penulis Moody Bersastra Tinggi

CNN Indonesia
Senin, 27 Apr 2015 14:47 WIB
Bagi sebagian penulis, kreativitas harus dilecut, tanpa memberi ruang bagi mood. Namun tidak demikian halnya dengan Eka Kurniawan.
Eka Kurniawan, pengarang novel Cantik Itu Luka. (CNNIndonesia/Endro Priherdityo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi sebagian penulis, kreativitas harus senantiasa dilecut, tanpa memberi ruang bagi mood untuk mengatur ritme pekerjaan yang melibatkan banyak pihak, dari editor sampai penerbit.

Namun tidak demikian halnya Eka Kurniawan. Sarjana filsafat yang gemar menulis ini justru menyusun rangkaian kata menjadi sebuah novel dengan berbekal satu pedoman: mood.

Ditemui CNN Indonesia di sebuah kesempatan di Jakarta Pusat, beberapa waktu yang lalu, Eka bercerita bagaimana pikiran menuntun ia menulis novel, hingga namanya dikenal di Jepang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya hanya mengikuti pikiran saya ketika menulis, sambil mengetik sambil berpikir, saya membiarkan cerita yang saya tulis berkembang,” katanya. “Jika, misalnya, tidak cocok, ya saya tulis ulang.”

Dua kebutuhan

Mood diandalkan Eka sebagai amunisinya sejak menggarap novel Cantik Itu Luka (2002). Novel ini menceritakan kehidupan wanita cantik era kolonial yang terjebak pelacuran.

Sarat elemen sastra dan filsafat, kisah dalam novel ini berani menabrak tabu khas budaya Timur. Dikisahkan, sang pelacur tak ingin memiliki keturunan cantik seperti dirinya.

Eka tak pernah menyangka, novelnya mendapatkan banyak ulasan positif dari para kritikus. Padahal penggarapannya bisa dikatakan nekat: semata mengikuti mood atau keinginannya.

"Ada dua hal yang mendorong saya menulis: kebutuhan untuk senang-senang dan kebutuhan secara intelektual,” katanya. “Saya rasa itu yang mendorong saya berkarya.”

Bekerja berdasarkan mood dihindari sebagian penulis lain karena berpotensi menggagalkan tenggat waktu. Eka pun mengakui hal ini: dia tak sanggup memprediksi kapan bukunya akan terbit.

Gara-gara mengikuti mood-nya yang kerap naik turun, Eka mengakui, paling cepat menyelesaikan sebuah buku dalam waktu tiga bulan, dan paling lama sepuluh tahun (itu pun belum selesai).

Pekerjaan tak kunjung usai, karena pria kelahiran 28 November 1975 ini, kerap kali mengaktifkan beberapa pekerjaan sekaligus di satu layar komputer. Alasannya, bosan.

"Saya ini bosanan, kalau sedang mengerjakan satu tulisan, kemudian bosan, saya bisa pindah ke yang lain, tetapi jika ada proyek yang dapat selesai cepat, ya saya selesaikan.”

Novel baru

Setelah Cantik Itu Luka, Eka merilis novel lain, Lelaki Harimau, cerita pendek Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya, juga cerita pendek Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya.

Cantik Itu Luka menjadi fenomena ketika seseorang tak dikenal bernama Ribeka Ota menerjemahkan novel pemenang Khatulistiwa Literary Awards 2003.

"Saya tidak tahu tentang Ota, mungkin ia suka dan tidak ada pekerjaan lalu menerjemahkan Cantik Itu Luka. Tahu-tahu saya tinggal beri izin untuk terbit dan edit sedikit," kata Eka.

Kini, ia tengah menyelesaikan novel yang selama sepuluh tahun terakhir belum juga rampung. Novel ini menceritakan tentang upaya  seorang lelaki menemukan wanita pujaannya.

Pencarian yang bermula dari pertemuan singkat itu rupanya mengantar sang lelaki mengarungi sejarah kontemporer Indonesia. Tidak hanya sejarah politik, juga budaya, termasuk dangdut.

Pendahuluan yang dilakukan Eka hanya berupa riset sederhana, bukan riset mendalam. Ia hanya ingin membagi pengetahuan tentang Indonesia yang belum tentu diketahui oleh orang lain.

"Saya selalu berusaha tidak terpaku dalam satu jenis karya, saya tidak ingin mengulang apa yang telah saya buat, baik itu gagal ataupun berhasil," katanya.

Kini, Eka terus berusaha untuk memperbaiki tulisan dan karya-karyanya seperti penulis yang ia idolakan, Leo Tolstoy, yang melahirkan karya legendaris Anna Karenina. Tetapi para penggemarnya harus bersabar, karena harus mengikuti mood-nya.





LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER