Jakarta, CNN Indonesia -- Di era penuh tekanan seperti saat ini, sangat bahagia rasanya bila memiliki sesuatu yang dapat membuat sedikit tersenyum ataupun tertawa.
Tertawa adalah kebutuhan bagi setiap manusia. Dengan tertawa, terlepas sedikit beban pikiran dan membuat jiwa menjadi lebih semangat.
Atas dasar itulah Dwi Sutarjantono membuat buku terbarunya,
Moelning Smile. Pemimpin redaksi sebuah majalah pria ini kembali meluncurkan buku setelah sebelumnya mengeluarkan kumpulan cerpen dan memamerkan lukisannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buku yang diterbitkan oleh Gramedia Majalah ini berisi kumpulan lelucon, yang diakui sendiri oleh Dwi, dibuat berdasarkan imajinasinya.
"Niat awal sebenarnya dari
broadcast BBM kepada kenalan yang ada di kontak saya sejak 2010," kata Dwi ketika ditemui CNN Indonesia di Jakarta Pusat, baru-baru ini. "Justru tidak niat bikin buku ini."
Bermula dari keseringan melihat keluhan di sosial media dan rutin membuat bahan candaan untuk disebar kepada kolega, menjadikan koleksi lelucon Dwi semakin banyak.
Ia pun mendapatkan dorongan untuk mengumpulkan lelucon tersebut dan menjadikannya sebuah buku setebal 118 halaman berisi kejadian sehari-hari seorang tokoh bernama Moel.
Candaan yang diberikan oleh Dwi dalam bukunya ini terbilang ringan dan sangat sering ditemui dalam keseharian. Namun untuk sebuah buku kumpulan lelucon, buku ini benar-benar menjadi lelucon.
Banyak candaan yang diberikan dalam buku ini tidak selucu ekspektasi sampul yang diberikan. Dengan
tag-line "Buku Wajib Para Komika," harusnya mampu menghadirkan gelak tawa bagi para pembacanya.
Jangankan gelak tawa, tersenyum pun tidak. Keseharian tokoh Moel dalam buku ini masih dapat dimengerti, tetapi tidak dengan materi lelucon yang terkesan dipaksa agar menjadi lucu—garing.
Beberapa lelucon yang cukup membuat guratan senyuman justru datang dari lelucon pasaran yang bernada mesum. Narasi yang dituturkan lebih dapat membuat penonton ikut merasakan kelucuan yang ditawarkan, walaupun sedikit.
Namun komedi adalah hal yang subjektif dengan tingkat kemampuan orang menerima hal yang lucu berbeda-beda. Mungkin bagi Dwi dan teman-temannya yang pria kosmopolitan, lelucon ini cukup membuat mereka terpingkal.
Dwi harusnya lebih membuat materi komedi yang sanggup menggelitik pembaca dengan ikut merasakan atau melihat Moel dalam benaknya. Meski latar keseharian, namun candaan yang ada terlalu abstrak, maka pembaca tidak akan memahami lelucon apa yang tengah ditawarkan oleh Dwi.
Menghibur orang lain memang membutuhkan bakat dan latihan yang intensif, sehingga peka terhadap apa yang dapat membuat orang terhibur.
"Saya memang tidak berniat menjadi komika," kata Dwi.
Kalaupun suatu hari nanti Dwi akan menjadi seorang komika, semoga lelucon yang akan ia bawakan jauh lebih baik ketimbang candaan yang ia tulis dalam buku ini.