Isu Seksualitas di Tiga Film Pendek Indonesia

Nadi Tirta Pradesha | CNN Indonesia
Kamis, 30 Apr 2015 15:55 WIB
Film pendek Sleep Tight Maria, Pertanyaan untuk Bapak dan Emak dari Jambi tersimak menarik karena luwes menyajikan fakta yang dianggap tabu.
Nia Dinata, produser film dari Kalyana Shira dan penggagas Project Change 2013. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tiga film pendek yang dihasilkan dari Project Change 2013 akhirnya ditayangkan secara berurutan di Galeri Indonesia Kaya, kawasan Thamrin, Jakarta, kemarin (29/4).

Penayangan terbatas film Sleep Tight Maria, Pertanyaan untuk Bapak dan Emak dari Jambi diseling diskusi bersama aktivis Dhyta Caturani, serta penggagas Gaya Nusantara Dede Oetomo.

Memiliki benang merah yang jelas, ketiga film tersebut menampilkan isu-isu yang masih dianggap tabu, seperti seksualitas perempuan, waria dan kekerasan seksual pada anak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketiganya berbicara lantang soal rahasia pribadi dua subjek dokumenter dan satu karya fiksi. Menurut Dede, “Film-film ini akan ditonton banyak orang, pastinya akan available di online.”

Dalam kesempatan diskusi, Dede menyoal pentingnya sineas muda berkontribusi bagi sesama kaum muda, agar bisa memahami suatu isu secara objektif, seperti isu FPI, fatwa MUI, AIDS.

Kisah Manusiawi

Film pendek Emak dari Jambi dan Pertanyaan untuk Bapak mengisahkan perjuangan untuk bisa menerima peristiwa traumatik dan penerimaan orang tua terhadap anaknya.

Sleep Tight Maria mengisahkan konflik batin pelaku masturbasi yang membayangkan laki-laki idaman namun tak ingin ketahuan oleh teman sekamar yang notabene “kembang” sekolah.

Sutradara Sleep Tight Maria, Monica Vanesa Tedja, menjelaskan  keresahan diri yang melatari filmnya. Ia menilai, ada banyak ekspektasi masyarakat terhadap bagaimana seharusnya perempuan bersikap.

"Itu semua terbentuk karena pengaruh budaya dan agama di Indonesia,” tutur Monica. “Jadi berangkat dari keresahan itu aku mulai mencoba mengembangkan.”

Dari sekian banyak masalah-masalah yang dihadapi perempuan, Monica memilih masturbasi sebagai topik utamanya. Dan ia membungkusnya dengan cukup apik dalam Sleep Tight Maria.

Sementara Pertanyaan untuk Bapak menyentuh isu yang krusial namun sering luput. Salah satu sutradara film dokumenter ini, Yatna Pelangi, juga bertindak sebagai subjek.

Dikisahkan, Yatna mencoba mencari ketenangan dengan mengonfrontasi ayahnya yang dahulu pernah melecehkannya dalam kurun lima tahun.

Diskusi antara para sineas peserta Project Change 2013 bersama para aktivis perempuan. (CNN Indonesia/Nadi Tirta Pradesha)


Sekalipun tak beroleh jawaban pasti dari ayahnya Yatna mampu melewati peristiwa traumatik itu. Sutradara kedua film ini, Mayk Wongkar, sempat berbagi cerita soal kiprah Yatna.

"Agak susah ya, awalnya semangatin Yatna,” kata Mayk seraya mengisahkan pengalaman syuting di kapal yang membuat Yatna gentar, ragu dan hampir membatalkan rencana bersama.

“Makanya aku bilang di kapal, ‘ayo, kita udah jalan jauh, kita bawa kru juga.’ Akhirnya kami jalan, kami selesaikan ini, balik, ada hasilnya," pungkas Mayk.

Film yang diputar terakhir, Emak dari Jambi, menyajikan nuansa cerah. Bercerita tentang Anggun Pradesha, seorang transgender yang menjadi subjek dan sutradara film ini.

Dikisahkan, Anggun bertemu dengan ibunya setelah bertahun-tahun tidak berjumpa. Penonton pun terbawa suasana yang berselang-selang antara haru dan tawa.

Sang ibu, Kurtini, akhirnya menerima sang anak dengan tangan terbuka. Emak dari Jambi cukup berhasil mengusung pengalaman manusiawi di mana kasih ibu menembus stigma sosial.

"Semoga teman-teman LGBT bisa bahagia, bisa dekat sama keluarganya. Ini juga turning point buat saya,” kata salah satu sutradara Rikky M. Fajar.

LGBT yang dimaksudnya tak lain akronim dari lesbian, gay, bisexual, transgender. Gara-gara film ini, Rikky bisa kembali ke pangkuan keluarganya.

“Selama ini saya di organisasi sibuk sendiri, orang tua saya tertinggal,” Rikky menambahkan. “Orang tua saya juga kena stroke. Ibu akhirnya menginspirasi saya untuk dekat dengan keluarga.”

Ricuh Lagu

Penggarapan Emak dari Jambi juga sempat ricuh karena memakai lagu Be(Re)ncana dan Malas Marah milik band neo-folk asal Palembang, Semakbelukar, tanpa seizin empunya.

Kedua tembang milik band yang sudah membubarkan diri tersebut,  ditampilkan di adegan pembuka serta penutup film. Soal ini, Nia Dinata, selaku produser, mengaku telah mengontak label mereka Elevation Records perihal izin.

"Aku masih menunggu sebenarnya,” kata Nia soal respon atau  konfirmasi dari pihak label tersebut. “Cuma kalau mereka enggak kasih izin juga, kami akan ganti lagunya.”

“Liriknya aku pikir jenius sekali," kata Nia, beralasan. Karena itu, di sesi diskusi, edukasi dan private screening Emak dari Jambi, kedua lagu masih diperdengarkan.

Terlepas dari soal itu, film-film pendek ini tersimak menarik karena luwes menyajikan fakta-fakta yang dianggap tabu di sebagian besar masyarakat.

"Benang merahnya adalah ada suatu dinamika kuasa, gender dan seksualitas yang timpang di masyarakat kita,” kata Dhyta. “Perempuan, gay, lesbian, transgender mengalami diskriminasi bahkan represi.”

"Dan semua berangkat dari cara berpikir masyarakat yang tunggal. Basisnya: normal dan tidak normal," imbuhnya. “Sayangnya, definisi normal dan tidak normal ini munculnya, dari orang-orang yang menganggap mayoritas, orang yang hetero.”

(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER