Jakarta, CNN Indonesia -- Awal tahun 2000-an, Arifin Putra rajin tampil di sinetron, film televisi, maupun sampul majalah. Tapi sekitar 1,5 sampai dua tahun, wajahnya pernah menghilang begitu saja. Baru beberapa tahun belakangan aktor yang mengawali karier di sebagai model itu kembali muncul, langsung menghiasi layar lebar.
Arifin tidak memungkiri, momen absennya dia dari dunia hiburan adalah masa-masa sulit dalam hidupnya. "Dunia ini sama seperti roda, kadang di atas kadang di bawah," kata Arifin mengawali cerita masa susahnya, saat berkunjung ke kantor redaksi
CNN Indonesia."Selama 1,5 sampai dua tahun itu, masa paceklik saya. Tagihan jalan terus, tapi duit enggak ada," katanya mengungkapkan. Arifin sempat kebingungan. Bagaimana tidak, sebelum masa-masa itu, Arifin baru saja mengambil kredit rumah hanya dengan waktu tiga tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Enggak tahu kenapa, enggak tahu
kesambet apa, nekat saja. Kelihatannya karier saya akan sangat bagus. Tapi terjadilah masa-masa paceklik itu," ucap Arifin. Ia sampai harus meminta bantuan sang ibunda untuk membayar kredit rumah maupun sekadar uang saku.
Awalnya, aktor 28 tahun itu semangat ikut casting. Ada yang sampai kontrak, tapi ternyata batal. Pada masa-masa itu, Arifin mengaku hanya bisa mengandalkan keluarga, sahabat, dan dirinya sendiri. "Harus mencari kekuatan terdalam kita," katanya memotivasi.
Ia juga teringat kata-kata sang manajer yang terus terngiang di telinganya, "Mau jadi pemenang atau pecundang? Pemenang itu, baru kelihatan saat sedang jatuh seperti ini." Saat itu Arifin beranggapan, bicara saja sih mudah. Tapi kelamaan, ia instrospeksi diri juga.
"Saya bertanya-tanya, jatuh begini alasannya apa. Saya bisa menyalahkan seluruh dunia, tapi mungkin enggak dari saya sendiri? Kurangnya apa, salahnya apa," ucapnya merenungkan.
Bintang The Raid 2: Berandal itu akhirnya menganggap jatuhnya dia kala itu adalah anugerah. Kalau naik terlalu cepat, tidak akan bisa mensyukuri hidup. Untuk bisa bersyukur, terkadang butuh jatuh terlebih dahulu.
"Saya baca buku Rich Dad Poor Dad, tentang bisnis. Di situ dibilang, semua orang pasti bangkrut. Kalau bisa, bangkrutlah sebelum umur 30. Dengan begitu masih bisa bangkit lagi," ucapnya. Ia pun akhirnya bersyukur jatuh lebih awal, sehingga masih bisa bangkit lagi.
"Akhirnya sekarang saya jadi mensyukuri setiap kerjaan. Semua kerjaan diambil, bahkan jemput bola. Enggak boleh capai. Mending banyak kerjaan atau enggak ada? Saya sudah mengalami dua-duanya, dan lebih memilih banyak kerjaan," katanya berseloroh. Ia khawatir jika mengeluh lelah, Tuhan akan memberinya "istirahat".
Kalau dahulu paceklik, sekarang Arifin panen. Setiap hari ada saja pekerjaan menanti. Belum selesai satu proyek film, sudah ada proyek lain yang harus dikerjakan. Ia mengaku lebih senang dengan kondisinya sekarang. Etos kerja keras itu dituruninya dari sang ibunda.
Meski begitu, layar kaca tetap kehilangan bintang Rumah Dara itu. Arifin mengaku ia memang kini lebih fokus ke film dan menutup untuk sementara menutup diri dari sinetron. Sejak 2008, ia memang seperti hijrah ke film dengan membintangi Lost in Love.
"Tapi memang sejak akhir 2013, saya putuskan untuk enggak main sinetron lagi untuk sementara waktu," ujarnya menerangkan. Ia merasakan perbedaan antara berkecimpung di layar kaca dan layar lebar. Meskipun, keduanya sama-sama punya kelebihan dan kekurangan.
Alasannya memilih film bukan perkara uang semata. Jika dibandingkan, uang di film justru lebih tidak pasti dibanding sinetron. "Kalau film itu lebih banyak usaha dari kita sendiri. Casting, menjaga hubungan baik dengan produser dan sutradara, promosi. Banyak permainan caturnya," kata Arifin.
Jika rumah produksinya serius, kemungkinan film akan berhasil baru sekitar 95 persen.
Di sinetron, ia mengakui, uang lebih rutin mengalir. Yang menjadi masalah adalah penentuan rating dan keterlibatan banyak pihak. Bisa jadi, karena stasiun televisi tidak suka, yang sudah syuting batal tayang.
Bisa juga, jeda ke masa tayang terlalu lama. Sementara itu, aktor dikenai pasal eksklusivitas untuk tidak ke mana-mana. Ia jadi tak bisa mengambil pekerjaan lain.
"Kalau lancar, aman. Kita seperti dituntun. Jadi satu keluarga dengan pemain sinetron lainnya. Tapi untuk menjadi aktor, harus mencicipi dua-duanya sih. Film dan sinetron."
Meski sekarang namanya sudah melambung, Arifin ternyata dahulu tak benar-benar berniat menjadi aktor. Saat terjun ke dunia hiburan tahun 2000, usianya masih 13 tahun. Ia hanya iseng bekerja demi menambah uang saku.
"Mau beli Playstation 1 sama Playstation 2, beli baju bagus biar dilihat cewek," ucapnya mengakui. Niatnya menjadi aktor baru terbentuk ketika masuk sekolah akting Sakti Actor Studio sekitar tahun 2005. Di sana ia belajar banyak.
Arifin bertemu guru akting bernama Eka Sitorus. Dari sosok itulah ia belajar soal dunia peran. Ia diajari soal motivasi, membedah skenario, struktur skenario, dan sebagainya. "Saya jatuh cinta pada akting."
Baru sejak itu, Arifin memantapkan niatnya: jadi aktor seumur hidup. "Dulu sih cuma membayangkan itu buat iseng. Lulus sekolah terus kuliah, kerja kantoran," ucapnya enteng.
Ia juga terinspirasi sebuah film klasik, Forrest Gump. Menurutnya, film itu menyimpan banyak pesan moral tanpa menggurui. Dari situ ia tahu, tidak perlu menjadi genius untuk menghasilkan sesuatu. Orang biasa pun bisa, asal punya mimpi dan mau bekerja keras.
Ia pun bermimpi menjadi aktor profesional.
Kalau saja Arifin tak masuk sekolah akting, mungkin wajahnya tak bakal terus muncul di layar kaca maupun layar lebar seperti sekarang. Kira-kira bakal menjadi apa Arifin tanpa akting? "Mungkin bankir, atau investor. Pokoknya bidang finance," katanya mantap.