Jakarta, CNN Indonesia -- Monkey Business. Mendengar namanya terbayang habitat kera macam Monkey Forest di Ubud, Bali. Tapi "monkey" yang satu ini tak ada hubungannya dengan monyet. Monkey Business merupakan salah satu nama jurnal sastra di Jepang.
Tahun ini Monkey Business menerbitkan edisi ke-lima. Isinya beragam, mulai dari cerita pendek, puisi, grafis, foto esai, manga, sampai kalimat dari penulis Jepang ternama, Haruki Murakami. Monkey Business memang wadah bagi penulis-penulis Jepang agar lebih dikenal mendunia.
"Kami berdiri sejak 2008," kata Roland Kelts, salah satu editor Monkey Business saat ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (8/6). Saat itu, Monkey Business masih berbahasa Jepang. Baru sekitar 2010-2011 jurnal sastra itu dicetak dalam bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski baru, setiap cetakan Monkey Business hampir selalu ludes. Edisi Inggris yang diperuntukkan bagi masyarakat barat pun habis di negeri sendiri. Menurut Roland, itu tak lepas dari penggagas Monkey Business, Motoyuki Shibata. Ia merupakan penerjemah ternama di Jepang.
Nama Moto, demikian ia akrab disapa, sering ditulis lebih besar dari nama penulis bahkan judul buku yang diterjemahkannya. Publik Jepang tergila-gila padanya. "Makanya saat kami mencetak Monkey Business dengan nama Moto, mereka merasa harus punya karena mengira itu karyanya yang baru. Meskipun mereka tidak bisa bahasa Inggris, tetap beli," ujar Roland menceritakan.
Moto juga kawan akrab Haruki Murakami selama beberapa dekade. Tak heran jika Monkey Business yang dinaungi Nippon Foundation itu bisa beberapa kali mencantumkan karyanya, termasuk di edisi ke-lima.
Monkey Business dari musisi Amerika Penciptaan Monkey Business tak lepas dari rasa prihatin Moto pada sastra Jepang. Ia melihat banyak penulis potensial, namun hanya Murakami Murakami lagi yang tenar.
Lalu bagaimana namanya bisa menjadi Monkey Business? "Pertama, Moto merasa dunia penerbitan Jepang terlalu serius. Dia ingin menjadikannya menyenangkan, menginspirasi orang," ujar Roland. Kedua, tak lepas dari hobi Moto bermain gitar. Ia penggemar Chuck Berry, musisi yang terkenal 1950-an.
Berry menulis lagu Johnny B. Goode, sampai difilmkan dengan judul Go, Johnny, Go pada 1959. "Dia juga menulis lagu tentang Monkey Business," kata Roland. Lagi yang dimaksudnya adalah Too Much Monkey Business. Dari judul itu Moto terinspirasi membuat nama jurnalnya.
Indra ke-enam Diakui Roland, tidak mudah menyaring begitu banyak penulis Jepang untuk karyanya dimuat di Monkey Business. Tidak bisa sembarang comot dari daftar buku laris. Sebab buku laris di kampung halaman belum tentu bisa bepergian dengan baik ke negara lain.
"Butuh indra ke-enam untuk mengetahui karya itu bakal laku secara internasional atau tidak," katanya. Roland sulit merasionalkan hal itu. "Harus ada yang terkoneksi. Kita memimpikan hal yang sama. Yang terpilih harus bisa melampaui batas bahasa maupun kultur," katanya menjelaskan, masih abstrak.
Menyerah menjelaskan secara konkret, Roland akhirnya mengaku menyerahkan semua pada, lagi-lagi, Moto. "Kembali pada Monkey Master. Dia sangat tahu penulis yang bagus," ujarnya. Ia sendiri bisa merasakan, setidaknya dari kalimat pertama. Jika sudah bisa membuat kepincut, artinya karya itu bakal bagus.
"Harus ada karakter dan suara yang kuat," katanya. "Jika di baris pertama sudah merasa, 'Wow saya harus membaca ini, saya tidak bisa berhenti' artinya itu akan bagus."
Karya yang bagus, lanjutnya, harus ditunjang pula oleh penerjemahan yang akurat dan nyaman dibaca. Penerjemah harus bisa masuk ke kepala penulisnya, bukan sekadar melakukan pekerjaan belaka.
Berkat rumus-rumus itu, 'Raja Monyet' sastra Jepang pun kini mengembara, bergelantungan dari satu batang pohon negara ke batang pohon negara lain. Monkey Business bahkan dinanti di Amerika.
(rsa/utw)