Jakarta, CNN Indonesia -- Seperti yang pernah ditegaskan Ayu Utami, salah satu sastrawan Indonesia, buku kita tak perlu berlatar asing untuk bisa diterima publik dunia. Hal yang sama dikatakan oleh Roland Kelts, salah satu editor
Monkey Business, jurnal sastra berkualitas dari Jepang.
"Saya pikir, tidak terlalu penting soal konten. Penulis serius pasti mementingkan kualitas tulisan, bukan kontennya. Tidak harus menulis tentang Jepang jika ingin diterima di Jepang," kata Roland kepada
CNN Indonesia saat ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta, kemarin (8/6).
Rolan menambahkan, masyarakat dunia justru lebih tertarik pada cerita khas Indonesia, yang berlatar negara ini sendiri. Eka Kurniawan, dengan bukunya
Cantik Itu Luka memang berlatar zaman kolonial Jepang. Tak heran novel itu diterjemahkan ke bahasa Jepang. Namun sejatinya berkisah tentang kompleksitas Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kehidupan keluarga di Indonesia, kehidupan warga, kehidupan agama, itu semua kan kompleks. Itulah yang dicari orang. Apalagi kalian punya ratusan bahasa, itu unik," ujar Roland. Ia lebih tertarik pada penulis yang mampu mengeksplorasi itu.
Tentu saja, harus dibarengi gaya bertutur yang menarik dan unik. Penceritaan masalah itu harus semenarik mungkin dan memikat. Kalau bisa, dari kalimat pertama sudah membuat pembaca terpincut.
Roland sendiri baru pertama ke Indonesia, meski sudah bertahun-tahun berkecimpung di bidang sastra. Ia belum banyak membaca karya penulis Tanah Air. "Ada beberapa yang kemarin saya ketemu di Makassar," katanya menyebutkan. Kebetulan, Roland ikut Makassar International Writers Festival yang digelar pada 3 sampai 6 Juni lalu.
Meski tak terlalu memahami, Roland menganggap sastra Indonesia begitu indah. Tatanan kalimatnya menarik.
Hanya saja, agar karya-karya itu dilirik masyarakat luar negeri, perlu upaya penerjemahan yang bagus. "Menerjemahkan karya sastra itu tidak hanya A jadi A atau B jadi B. Butuh imajinasi. Makanya saya bilang, penerjemah itu harus cinta menulis dan harus bisa menulis
native," Roland menyarankan.
Baginya, penerjemahan bukan sekadar pekerjaan yang bisa diselesaikan ala kadarnya. Penerjemah harus bisa merangkai kata demi kata sehingga jiwa sastranya tetap bisa terasa di bahasa yang berbeda. "Penerjemah itu harus bisa masuk ke kepala penulis."
(rsa/utw)