Biennale Jogja XIII Bukti Indonesia Bukan Pengekor

Nadi Tirta Pradesha | CNN Indonesia
Selasa, 30 Jun 2015 21:26 WIB
Saatnya bagi seniman Indonesia untuk menampilkan karya autentik di Biennale Jogja XIII Ekuator #3: Hacking Conflict di Jogja National Museum
Ilustrasi: Jakarta Biennale (Detikcom Fotografer/Rachman Haryanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kemiripan atau kesamaan karya satu dengan karya yang lain bukan mustahil terjadi, bahkan antar benua sekalipun. Lalu, tuduhan plagiarisme pun tak terelakkan.

Kini, saatnya bagi seniman Indonesia untuk menampilkan karya autentik di Biennale Jogja XIII Ekuator #3: Hacking Conflict di Jogja National Museum, Yogyakarta, pada 1-10 November 2015.

Edisi ketiga kali ini menampilkan karya seniman negara-negara ekuator: Indonesia dan Nigeria. Hal ini disampaikan saat jumpa pers di Ruci Art Space, Kebayoran pada Selasa (30/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pengetahuan Indonesia dianggap selalu meniru, tak bisa menggunggah pemikirannya sendiri,” kata Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Yustina Neni.

Berangkat dari hal ini, sebagaimana dikatakan Yustina, digagas upaya untuk menempatkan pemikiran dan seni Indonesia di luar tradisi seni serta politik Barat-Timur.

Perhelatan Biennale Jogja dipandang sangat penting. “Kami merasa perlu meletakkan strategi, bukan hanya menjadi internasional tapi juga menghasilkan karya berkualitas," jelas Neni.

Sebelumnya, Biennale Ekuator memamerkan karya dan bentuk kesenian dari India (2011), area Arab yang membawahi lima negara (2013), dan kali ini Nigeria.

Menurut Neni, inisiatif politik Indonesia terpenting diserukan saat Konferensi Asia Afrika, pada 1955, di mana Indonesia dapat memiliki pemikirannya sendiri.

Dia juga menyayangkan Indonesia sebagai bangsa yang besar tapi tidak pernah merasa besar dan penting. Tentu saja hal ini tak bisa dibiarkan. Kini, saatnya untuk unjuk gigi.

Indonesia tak unjuk gigi sendirian, melainkan menjalin kerja sama dengan negara di wilayah Khatulistiwa. Selain alasan kesamaan geografis, juga untuk mengenalkan seni kontemporer Indonesia kepada negara lain.

Mengenai proses pemilihan Nigeria sebagai kolaborator, Neni menyampaikan, bahwa awalnya negara dipilih secara acak namun pada akhirnya mengerucut karena berbagai pertimbangan soal kesamaan.

“Pertimbangannya negara yang bekerja dengan kami adalah yang memiliki hubungan diplomatis dengan Indonesia,” kata Neni. “Kedua, senimannya harus memiliki karakter dalam karyanya dan sudah berkiprah di tingkat internasional.”

Dalam hal ini, menurut Neni, Nigeria mirip dengan Indonesia, karena memiliki selera humor tinggi dan memiliki banyak mitologi hantu seperti Indonesia.

Sementara itu kurator Biennale Jogja XIII Wok The Rock menggarisbawahi kesamaan periode demokratisasi Nigeria dan Indonesia.

Dalam risetnya dengan salah seorang peneliti dari Biennale Jogja XIII, Woto menyatakan bahwa Nigeria juga sedang menjalankan demokrasi yang berusia belia.

"Saat melanjutkan perjalanan Biennale kloter 1, di bulan November bersama peneliti. Selama 30 hari di Nigeria, kami ingin melihat dinamika kehidupan di sana,” kata Wok.

Lebih lanjut dikatakan oleh Wok, “Kami memutuskan untuk mencari permasalahan dan isu yang sedang dialami dua negeri ini. Kami tahu dari sejarah bahwa Nigeria juga lepas dari rezim militer tahun 1998. Yang terjadi sama, elemen masyarakat mencoba untuk menjadi sedemokratis mungkin.”

Dalam proses penggarapan karya, Wok menyampaikan bahwa metode yang digunakan adalah menggodok harmoni lewat kebingungan dan kekacauan.

Walau belum bisa memprediksi wujud karya seni yang akan ditampilkan, Woto menyatakan penting untuk menggunakan kebingungan dan kekacauan sebagai alat pengerjaan, bukan tema besar yang membatasi karya.

Menurut siaran pers Biennale Jogja XIII Ekuator #3: Hacking Conflict, judul ini bermakna meretas konflik. Metode ini didayagunakan sebagai bagian dari upaya masyarakat di kedua negara untuk membangun gerakan progresif dan strategis.

Biennale Jogja kali ini menampilkan karya dari 24 seniman Indonesia dan 11 seniman Nigeria. Di akhir jumpa pers, Wok juga menyampaikan bahwa karya dari seniman Indonesia berbentuk heterogen, yang mencakup tari dan musik. Sementara seniman Nigeria cenderung menghasilkan seni rupa (visual art).



(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER