Jakarta, CNN Indonesia -- Menikmati sebuah karya seni memang lebih mudah daripada membuatnya. Namun di perhelatan Jogja Art Weeks 2015 (JAW 2015), anak-anak muda seakan terhipnotis untuk mau membuat karya dengan tema dan media yang lumayan kompleks.
Perhelatan JAW 2015 memang baru dilangsungkan untuk yang pertama kali pada tahun ini. Tapi sejumlah orang yang terlibat di dalamnya cukup berani untuk mengajak anak muda tampil sebagai seniman.
Bertajuk Jogja Art Week Showcase, pameran tersebut bertempat di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri Universitas Gajah Mada (PKKH UGM) sejak 9 Juni hingga 27 Juni 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan sembarang anak muda yang bisa berpameran di sini. Karena Tim JAW 2015 telah menyeleksi 47 orang dari 200 orang yang mendaftarkan konsep mereka ke ajang ini.
Setelah terpilih, tim tersebut lalu memberikan pelatihan agar ke-47 konsep tersebut dapat terwujud dengan baik.
Seleksi dimulai sejak Mei dan dilakukan pelatihan hingga awal Juni. Dikatakan oleh Bramastya Benda, panitia JAW 2015, pameran ini bertujuan untuk memanaskan semangat berkreasi anak muda.
"Para seniman muda ini butuh pemanasan untuk terus berkarya. Apalagi JAW 2015 juga diadakan bertepatan dengan ArtJog yang banyak menampilkan karya senior. Jadi dengan melihat seniornya berkarya ditambah pelatihan dari Tim JAW 2015, seniman-seniman muda ini bisa terus berkesenian," kata Bram, ketika ditemui oleh
CNN Indonesia di Showcase, pada Jumat (26/6).
Showcase tidak hanya menampilkan seni visual, tapi juga seni pertunjukan, seni musik, seni video, fotografi, instalasi dan seni sastra.
Bertempat di kompleks sebuah universitas, semangat darah muda dalam
Showcase memang sangat terasa.
 Pengunjung mengamati karya seni instalasi saat pameran Art Moments Jogja 2015 di Jogja National Museum, Yogyakarta, Senin (15/6). Pameran seni rupa kontemporer yang menampilkan karya-karya terbaru dari 20 seniman Indonesia itu dirancang sebagai media pertemuan dan perkenalan bagi seniman, kolektor maupun gallerist dalam format yang akrab dan penuh persahabatan, pameran berlangsung hingga 30 Juni 2015. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/ed/pd/15) |
Sejumlah karya yang terlihat menonjol adalah milik Rivan (
Recyclemons), Dian Mayangsari (
Hope), Primayoga (
Interpretasi Jaman Kalabendhu), Jay Afrisiando (
Percakapan dengan Kebisingan), I Made Suastika Yasa (Perbedaan Dalam Harmoni), Ibnoe Marsanto dan Gaung Satrio Reingpaso (
Perspektif Dua Generasi), Muhammad Sabil H. (
Ini Rumah Tempat Aku Pulang), I Nyoman Putra Purbawa (
Rwa Bhineda), Rahmat Seblat (
Tak Pernah Mutlak), One Day in the Life of An Artist (
Ali Umar) dan Nur Hardiansyah (
Intimation or Imitation).
Sempat berbincang dengan Nur Hardiansyah atau yang akrab disapa Dian, tentu saja ia mengaku, sangat bangga bisa ikut berpartisipasi dalam pameran ini.
Karya Dian adalah instalasi
mix media. Sebanyak 15 keramik berbentuk anemon laut ia buat dengan filososi biomimikri. Dijelaskan oleh Dian dan sama seperti yang tertulis dalam situs web
www.biomimikri.blogspot.com, biomimikri adalah ilmu yang menempatkan objek alam (khususnya makhluk hidup) sebagai model perancangan dan proses lalu menirunya dan mengaplikasikannya pada teknologi modern.
 Karya Muhammad Sabil H., 'Ini Rumah Tempat Aku Pulang, dalam Jogja Art Week Showcase 2015. (CNNIndonesia/Ardita Mustafa) |
Jika biomimikri Wright bersaudara—sang penemu pesawat terbang—adalah burung yang bisa terbang, Dian menjadikan anemon sebagai biomimikri-nya dalam berkarya.
Ditemui di
Showcase, Dian mengatakan anemon sama seperti manusia; punya bentuk, fungsi dan bisa jadi masalah yang berbeda-beda.
"Di darat manusia pasti masalahnya
laper,
kesel,
ngantuk,
seneng… Kita enggak tahu
aja kalau anemon, yang tinggal di dalam lautan, mungkin punya masalah yang sama dengan manusia," ujar Dian, yang masih kuliah di Institut Seni Indonesia jurusan Seni Keramik.
Dian menggunakan anemon sebagai karyanya agar tidak terlalu harafiah. Toh dengan anemon, filosofi karyanya bisa jauh lebih dalam. Apalagi ditambah dengan penggunaan filosofi biomimikri.
 Karya Rahmat Seblat, 'Tak Pernah Mutlak', dalam Jogja Art Week Showcase 2015. (CNNIndonesia/Ardita Mustafa) |
Keramik-keramik Dian tampak imut dan menggemaskan. Selain karena bentuknya yang unik, pewarnaan karya yang ditaruh dikotak kaca itu terlihat menarik.
"Mengapa saya taruh di kotak kaca, saya ingin agar manusia merasa tersindir, anemon
aja mau
ngaca sama dirinya sendiri, masa kita enggak?" kata Dian.
Ditambahi oleh Bram, karya keramik Dian patut diapresiasi. Tidak hanya filosofinya, tapi juga proses pembuatannya.
"Membuat keramik itu tidak mudah, lho. Perlu waktu yang lama, apalagi kalau gagal di tengah jalan, diulang lagi. Makanya jarang yang mau menyentuh menjadi seniman keramik," kata Bram.
 Karya Ibnoe Marsanto dan Gaung Satrio Reingpaso, 'Perspektif Dua Generasi', alam Jogja Art Week Showcase 2015. (CNNIndonesia/Ardita Mustafa) |
Mengenai konsep Dian dan teman-temannya yang lain di Showcase, Bram yang juga masuk dalam tim pelatihan Dian, mengatakan kalau karya seni yang dipamerkan saat ini sudah cukup memuaskan.
"Tapi ingat, seniman muda jangan terjebak dalam dunia pop. Perlu juga sekali-kali menengok ke belakang dan mengetahui cara seniman senior berkarya dari awal," ujar Bram.
"Agar tidak pernah lupa dengan sejarah, agar tetap berpijak pada tanah," kata Bram menutup perbincangan.
Untuk info lebih lanjut mengenai Showcase bisa mengunjungi situs
web www.jogart.net. (ard/vga)