Menulis di Bawah Nama Wanita atau Pria?

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Senin, 10 Agu 2015 10:47 WIB
Di Barat, penulis pria lebih laku dan diakui. Sebaliknya, di Indonesia penulis perempuan lebih diminati. Bahkan pria disarankan memakai nama pena wanita.
Ilustrasi penulis. (Dok. Death to The Stock Photo)
Jakarta, CNN Indonesia -- JK Rowling membuat keputusan tepat untuk tidak memasang nama lengkapnya saat merilis buku Harry Potter. Nama Joanne bukan tidak menjual, tapi terlalu jelas mengesankan perempuan. Penulis perempuan belum terlalu dipercaya di luar negeri, kalah oleh nama penulis pria.

Buktinya, strategi Rowling berhasil. Ia sempat menjadi salah satu penulis terkaya, bahkan setelah akhirnya seluruh dunia tahu ia sebenarnya perempuan. Rowling kemudian menerapkan strategi yang sama saat merilis novel detektif. Ia berlindung di balik nama Robert Galbraith saat menerbitkan buku baru.

Laman Independent menulis, sudah ada beberapa penulis perempuan yang kariernya mengalami kebuntuan lantaran bersikukuh menggunakan nama mereka. Salah satunya Catherine Nichols. Ia kecewa karena tidak juga diperhatikan agen penulis maupun penerbit karena namanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari sekitar 50 agen penerbitan yang dikiriminya pesan melalui surel, hanya dua yang membalas. Nichols akhirnya mencoba trik terakhir. Menggunakan nama pria. Tak disangka, setelah itu langsung lebih banyak yang merespons. Sekitar lima sampai enam agen.

Tiga di antaranya bahkan langsung meminta manuskrip yang telah ditulis Nichols. Tidak butuh waktu lama baginya untuk kemudian menyadari, apa masalah yang sebenarnya. "Novel saya bukan masalah. Masalahnya adalah saya, Catherine," tulisnya dalam sebuah esai.

Hingga saat ini, Nichols mengaku ada 17 permintaan manuskrip dari agen penerbitan, yang masih mempercayai dirinya adalah pria.

"Dia (pria) delapan setengah kali lebih baik dari saya dalam menulis satu buku yang sama. Sepertiga agen yang melihat sinopsisnya ingin membaca lebih, padahal jika saya (perempuan) tidak ada satu pun dari 25 agen," katanya.

Fenomena menarik terjadi saat Nichols mengirim surat yang sama ke agen yang sama, dengan nama dirinya serta samaran prianya. "Ada satu yang mengirim formulir penolakan pada saya sebagai Catherine, bukan hanya ingin membaca buku George tetapi bahkan akan mengirimnya ke agen yang lebih senior," kata Nichols menambahkan.

Kalau pun George ditolak, lanjutnya, penolakan itu terjadi dengan sangat sopan. Mereka menyebut George, nama ciptaan Nichols, sebagai penulis yang rajin, disiplin, dan cerdas.

Nichols akhirnya menyimpulkan, agen penerbit lebih suka nama George karena lebih menjual.

Hetih Rusli, editor fiksi Gramedia Pustaka Utama pernah menjelaskan pada CNN Indonesia, dikuasainya dunia penulisan oleh pria di luar negeri tidak lepas dari arti pekerjaan menulis itu sendiri. Di sana, menulis bisa menjadi profesi utama, tulang punggung keluarga.

Sebabnya apa lagi jika bukan minat baca yang tinggi. Namun sebaliknya di Indonesia, penulis masih dianggap profesi sampingan, yang bisa dikerjakan perempuan. Itu sebabnya nama penulis perempuan di negeri ini lebih laku dibanding penulis pria. Pria bahkan perlu nama pena yang lebih feminin jika ingin laku.

Itu juga berkaitan dengan pangsa pasar penulis. Di Indonesia, konsumen buku masih lebih banyak perempuan, terutama novel. Sebab, menurut Hetih, perempuan lebih punya banyak waktu dibanding pria yang harus kerja keras.

(rsa/rsa)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER