Terjebak Euforia Remaja dalam 'Paper Towns'

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Minggu, 23 Agu 2015 13:05 WIB
Film ini sangat khas remaja. Ada percintaan, tapi tidak menjual air mata dan kegelisahan emosional. Paper Towns lebih menggugah soal persahabatan.
Salah satu adegan Paper Towns. (Dok. 20th Century Fox)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di dunia model, nama Cara Delevingne sudah berkibar. Sahabat satu geng Taylor Swift itu sudah biasa berlenggak-lenggok di runway maupun melakukan sesi pemotretan untuk majalah. Namun Paper Towns adalah kesempatan besar pertama bagi Cara unjuk gigi berakting.

Tak tanggung-tanggung, sutradara Jake Schreier langsung mendapuk Cara sebagai pemeran utama. Ia menjadi remaja SMA bernama Margo, yang populer, punya banyak teman, kekasih tampan, tetapi juga diselubungi misteri. Sejak kecil ia memang menyukai misteri dan petualangan.

Bersama tetangga depan rumahnya, Quentin (Nat Wolff) ia pernah menemukan seorang pria tewas di tepi danau. Bagi Quentin itu hanya angin lalu. Namun Margo terus memburu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Itulah yang akhirnya memisahkan kedua sahabat itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Quentin tumbuh menjadi remaja canggung dan kuper. Ia cuma punya dua kawan yang tak kalah canggungnya. Ada Ben (Austin Abrams) yang merasa keren padahal semua siswa mengenalnya sebagai Bloody Ben. Ada pula Radar (Justice Smith) yang orang tuanya terobsesi menjadi kolektor sinterklas hitam terbanyak di dunia.

Mereka tidak pernah berurusan dengan geng Margo. Sampai suatu malam, seperti mengulang masa kecil, Margo menyelinap masuk ke jendela kamar Quentin dan mengajak sahabat masa kecilnya itu melakukan kejahatan semalaman. Sejak itu, hidup Quentin tak pernah sama lagi.

Akting Cara sebagai Margo tidak terlalu mengejutkan. Ia bersikap selayaknya remaja biasa yang populer, sedikit tomboi, dan berkarakter. Tidak jauh berbeda dengan pribadinya di dunia nyata. Penonton seperti melihat Margo adalah Cara, bukan lainnya.

Apalagi, dengan wajah-wajah remaja baru di layar lebar Cara tampak paling menonjol. Namun jika Cara menjadikan film itu sebagai patokan untuk beralih dari dunia modeling ke akting, alasannya kurang kuat dan berdasar.

Sebab akting yang mencuri perhatian justru muncul dari Abrams. Sebagai Ben, ia sukses membuat seisi bioskop tertawa karena ulahnya yang polos tapi terkadang sok. Abrams cocok memerankan remaja yang jadi bulan-bulanan.

Kekuatan Paper Towns bukan pada alur cerita atau drama yang dijual seperti adaptasi dari buku John Green, The Fault in Our Stars. Paper Towns menyuguhkan suasana remaja yang renyah, penuh tawa, dan ujian persahabatan. Paper Towns tidak melulu bicara percintaan. Film itu tidak menjual air mata dan pergolakan emosi.

Film ini bisa menjadi tontonan pas untuk remaja yang sedang berada di penghujung masa sekolah. Paper Towns memberikan perspektif berbeda memandang dan menjalani masa-masa SMA. Mengubah hidup yang tadinya menyebalkan jadi terasa menyenangkan, hanya dengan keberanian.

(rsa/rsa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER