Cerita Istri Ke-dua yang Jadi Primadona Grup Sandiwara Sunda

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Minggu, 30 Agu 2015 13:09 WIB
Nyi Tjitjih bergabung dengan Opera Valencia karena cantik dan berbakat. Ia langsung jadi primadona. Nama grupnya sampai diganti menjadi Miss Tjitjih.
Suasana panggung opera tertua di Indonesia, Miss Tjitjih di Jalan Kabel Pendek Cempaka Baru Cempaka Putih. (CNN Indonesia/ Endro Priherdityo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebelum Nyi Tjitjih bergabung pada 1926, kelompok sandiwara Sunda Opera Valencia hanya membawakan cerita kerajaan setiap berkeliling. Bergabungnya Nyi Tjitjih yang akhirnya mengubah itu. Sejak pertama, ia sudah memukau.

Nyi Tjitjih bukan hanya cantik. Ia juga berbakat. Menyanyi, menari, dan berakting pun ia lakoni. Itulah yang membuat Sayyid Abubakar Bafagih, seorang keturunan Arab-Indonesia yang lahir di Bangil, Jawa Timur dan kebetulan bertandang ke Sumedang, terpincut padanya.

Tak perlu waktu lama bagi Nyi Tjitjih untuk menjadi pusat sorotan. Ia lah sang primadona. Bahkan orang-orang Belanda yang menonton Opera Valencia pun tertarik pada gadis 18 tahun itu. Abubakar lantas membuat satu keputusan besar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kediaman para anggota Opera Miss Tjitjih, Jalan Kabel Pendek Cempaka Baru Cempaka Putih. (CNN Indonesia/Endro Proherdityo)

Nama kelompoknya diubah menjadi tonil Miss Tjitjih pada 1928. Bukan hanya itu, di tahun yang sama Abubakar pun menikahi primadonanya sendiri. Nyi Tjitjih setuju dijadikan istri ke-dua. Namun tak lama, istri pertamanya diceraikan meski sudah memberi enam anak.

(Baca juga: Kehidupan Nyata Di Balik Sandiwara Miss Tjitjih)

Sejak itu, nasib tonil Miss Tjitjih semakin baik. Keputusan untuk mementaskan hanya bahasa Sunda menjadi pembeda untuk kelompok itu. Di Batavia saat itu sudah ada kelompok sandiwara Miss Riboet sejak 1925. Namun, mereka berbahasa Melayu. Sedang Nyi Tjitjih, tak bisa bahasa Melayu. Ia hanya bisa berbicara Sunda.

Tak disangka itu justru membuat orang-orang tertarik. Setelah bergabung, Nyi Tjitjih langsung diboyong ke Batavia. Sejak 1971 hingga 1977, mereka menempati panggung tetap di daerah Angke, tak jauh dari Teluk Gong, menurut situs resmi pemerintah DKI Jakarta.

Mereka berpindah-pindah markas. Pernah di manggung sekaligus tinggal di Kramat Raya, Pasar Baru, Angke, Teluk Gong, sampai akhirnya menempati sebuah gedung di lokasi padat penduduk Cempaka Baru, Kemayoran. Markas itu yang dipertahankan hingga kini. Para pemain Miss Tjitjih pun tinggal di belakangnya.

Hanya saja, kini Miss Tjitjih sudah ditinggalkan sang primadona. Ia meninggal karena penyakit TBC pada 1936. Perempuan yang menyandang nama Nyi Tjitjih sejak usia 15 tahun itu terjatuh usai sebauh pementasan.

Meski penyakit menggerogoti tubuhnya, Nyi Tjitjih tetap pentas. Namun akhirnya ia tak tahan. Nyi Tjitjih kembali ke Sumedang, dan tahun itu juga meninggal di kampung halamannya. Ia tak meninggalkan keturunan.

Abubakar yang kemudian melanjutkan perjuangan Miss Tjitjih. Ia bahkan tetap menggunakan bahasa Sunda, seperti keinginan sang istri yang meninggal dalam usia 28 tahun itu. Kini, kelompok Miss Tjitjih masih dikelola keturunan-keturunan para pemain yang peduli.

(rsa/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER