Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua penjurian Indonesia Art Award (IAA), Jim Supangkat, menginginkan bahwa kompetisi seni bukan hanya sekedar ajang menghabiskan uang namun tanpa mengeluarkan regenerasi seniman rupa Indonesia.
"Terjadi diskusi untuk mencari format kompetisi ini sejak 2013 lalu untuk menemukan pola kompetisi," kata Jim ketika ditemui di malam penganugerahan Indonesia Art Award di Galeri Nasional Jakarta Pusat, tadi malam (21/9).
"Ada baiknya kompetisi ini berkaitan dengan kemajuan, jangan cuma mencatat dan bagi-bagi uang," ia menambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jim Supangat untuk kedua kalinya menjadi ketua ajang kompetisi IAA yang diselenggarakan oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia, yang diketuai Titiek Soeharto.
Ajang IAA sendiri merupakan kompetisi seni rupa yang telah ada sejak 1994 hingga saat ini. Sebelum 2013, IAA diselenggarakan setahun sekali dengan dukungan sponsor sebuah perusahaan elektronik asing.
Namun, sejak 2013, pergantian sponsor turut mengubah pola IAA menjadi ajang dwi tahunan. Perubahan itu juga terjadi pada pola kompetisi yang diselenggarakan oleh YSRI.
"Bila setiap dua tahun dapat merekam pola perkembangan seni rupa, nanti dapat menjadi wacana untuk seni rupa Indonesia, itu cita-citanya," kata Jim.
Tahun ini, IAA mengambil tajuk Respublica dengan tema besar Hal Publik. Pada IAA tahun ini, YSRI menggunakan elemen penilaian lain yang belum pernah digunakan sebelumnya, yaitu juri publik.
Bila pada 2013 lalu, IAA menggunakan standar penilaian yang ketat untuk menemukan seniman yang berkualitas berdasarkan pengalaman lima tahun para peserta.
Namun sistem tersebut menghasilkan seniman yang kurang populer di mata publik. Menyikapi hal tersebut, pihak YSRI pun membuka selebar-lebarnya kesempatan bagi siapa pun yang ingin berkompetisi di IAA.
Tercatat pada tahun ini, peserta termuda berusia 12 tahun sedangkan yang tertua berusia 77 tahun. Dengan adanya juri publik, diharapkan dapat memicu masyarakat untuk lebih tertarik dengan seni.
"Memang itu menjadi konsekuensi dari keterbukaan, banyak juga muncul seniman-seniman yang belum pernah didengar sebelumnya," kata Jim.
Meski terbuka, YSRI tidak ingin sembarang dalam meloloskan 652 hasil karya yang masuk kepada juri publik yang terdiri dari akademisi, swasta, kolektor, galeri, pecinta seni, budayawan, politisi, hingga perwakilan pemerintah.
Dari 652 karya, tim juri yang dipimpin oleh Jim menyeleksinya berdasarkan administratif dan kesesuaian tema hingga menghasilkan 200 karya. Karya-karya itu lalu diseleksi lagi berdasarkan aspek seni hingga terpilih 46 karya yang akan dinilai oleh pihak juri publik.
Diakui Jim, "Tim juri tidak memberikan titipan apa pun kepada juri publik, kami sepenuhnya menyerahkan kepada mereka."
Juara IAA tahun ini dimenangkan oleh Antonio Sebastian Sinaga sebagai Juara 1 mendapatkan piala, sertifikat, dan uang Rp 100 juta. Juara 2 diraih oleh Indarto Agung Sukmono dengan hadiah piala, sertifikat dan uang Rp 75 juta. Dan Juara 3 dipegang oleh Muchlis Fachri mendapatkan piala, sertifikat, serta uang tunai Rp 50 juta.
Karya mereka beserta 43 finalis lainnya akan dipamerkan di Galeri Nasional sejak 21 September hingga 1 Oktober 2015.
Mencari yang IdealMembicarakan seni yang dapat "kawin" dengan publik memang susah-susah-gampang. Menurut Jim, secara teori, seluruh aspek dalam sosial seperti politik dan kesenian adalah hal yang dimengerti publik.
"Yang ideal itu sebenarnya mencari karya-karya yang memancing perhatian publik," kata Jim. "Hal yang dimengerti publik itu berarti publik dapat berdialog dan menciptakan nilai, kalau orang seni hanya ceramah lalu publik takut bersuara, itu bukan kesenian."
Jim mengakui kondisi Indonesia memang masih jauh dari atensi publik yang tinggi. Ketertarikan publik terhadap seni masih menjadi tugas yang harus dicari solusi demi majunya peradaban sebuah bangsa.
Dengan kondisi serba transparan saat ini, aspek sosial politik sudah hampir mendapatkan atensi dari publik, seperti pada pemilu 2014 lalu yang menyedot perhatian massa. Hampir semua kalangan melek, atau berusaha mencari tahu, kondisi politik.
"Kesenian masih banyak yang tidak mengerti, padahal lingkungan seni itu tidak sekeras politik," kata Jim. "Nah, semoga dengan adanya juri publik ini, mereka dapat mengarahkan seniman akan seni yang menarik publik."
Tuntutan publik dianggap Jim sebagai tantangan bagi seniman untuk dapat menghasilkan karya yang menarik perhatian namun tidak melupakan ideologi masing-masing seniman.
Jim pun tak ingin juga pesimis dengan kondisi publik yang masih belum tertarik dengan perkembangan seni rupa secepat pada aspek politik. Bagi Jim, selalu ada keajaiban yang dapat mengubah kondisi sosial suatu kaum, seperti pada 2014 ketika situasi politik dipengaruhi kelompok yang dinamakan
silent people. (end/vga)