Jakarta, CNN Indonesia -- Sekalipun digelar di Negeri Paman Sam, penganugerahan Academy Awards of Merit atau Oscar yang digagas Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) bukan semata milik Hollywood.
Sejak awal digagas, pada 1929, ajang Oscar telah mengikutsertakan film dari negara di luar Amerika Serikat yang tak jarang menggunakan bahasa lokal atau non-Inggris.
Film non-Hollywood memberi warna tersendiri, karena berbeda dari segi cerita, budaya, bahasa, juga alam dan lanskapnya. Tak jarang pamornya lebih legendaris ketimbang film Hollywood.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut ini, beberapa Film Berbahasa Asing pilihan CNN Indonesia yang pernah berjaya di ajang Academy Awards, sepanjang dua dekade belakangan, baik sebagai juara maupun nomine:
Film yang disutradarai sekaligus dibintangi Roberto Benigni ini membuat penonton menangis sekaligus tertawa. Benigni berperan sebagai Guido Orefice, pria keturunan Yahudi-Italia.
Dikisahkan, usaha keras Benigni demi keluarganya di tengan kancah Perang Dunia II. Di satu sisi, pengorbanannya menguras emosi, dan di sisi lain, sikap humorisnya mengundang tawa.
Life Is Beautiful memenangkan Academy Award 1999, salah satunya kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Kemampuan Benigni meramu kelucuan di tengah kegetiran perang tak terlepas dari masa lalunya.
Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, Benigni mengaku sejak kecil menyukai sastra dan selalu memandang keindahan dalam segala hal, sebagaimana ajaran yang ditanamkan ayahnya.
“Napoleon saja bisa menenangkan pikirannya terhadap tragedi,” kata Benigni yang gara-gara sang ayah, selalu bisa menemukan sisi menyenangkan dari kisah pilu Shakespeare, Hamlet, maupun Napoleon.
Lebih dari 40 penghargaan diraih sutradara Ang Lee untuk karyanya yang indah, Crouching Tiger, Hidden Dragon. Salah satunya, Academy Award kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.
Dibintangi aktor papan atas Chow Yun-fat, Michelle Yeoh, dan Zhang Ziyi, film ini berkisah tentang pencurian pedang bertuah semasa Dinasti Qing, pada era 1779.
Film Taiwan yang diangkat dari pentalogi Crane Iron karya novelis Wang Dulu ini dibuat dengan bujet US$17 juta dan menembus box office dengan perolehan fantastis US$213,5 juta!
Tak sedikit kritikus yang menyatakan film berbahasa Mandarin ini unggul karena “formula” yang mumpuni, dari segi aksi laga, kisah, penyutradaraan, musik pengiring, sampai sinematografi.
“Perkelahian bukan semata menendang dan meninju,” kata Ang Lee kepada majalah Filmmaker, “melainkan juga cara karakter mengekspresikan situasi dan perasaan mereka dengan cara unik.”
Jauh sebelum Che Guevara dikenal sebagai pelopor gerakan revolusioner di Kuba, dan wajahnya menghiasi kaus yang dikenakan kaum muda, ia adalah pengembara bernama Ernesto Guevara.
Saat berusia 23 tahun, pada 1952, Guevara berkeliling Amerika Selatan bersama sahabatnya, Alberto Granado, sembari mengendarai sepeda motor. Petualangan mereka tertuang dalam sebuah buku.
Buku tersebut, Traveling with Che Guevara: The Making of a Revolutionary, ditulis oleh Granado. Lalu, diangkat ke layar lebar oleh sutradara keturunan Brasil, Walter Salles.
Petualangan sejauh 14.000 kilometer selama 4,5 bulan membukakan mata Guevara dan Granado tentang karut marut Amerika Selatan. Guevara pun bertekad mengubah dunia, juga dirinya sendiri.
“Daripada susah payah mencari jawaban dari dalam diri, lebih baik berkelana, tersesat dan temukan diri sendiri,” kata aktor berdarah Meksiko, Gael García Bernal, si pemeran Guevara. Pertemanan dengan petugas proyektor bioskop Cinema Paradiso, Alfredo, membuat Salvatore Di Vita alias Toto tertarik mempelajari film, termasuk mengoperasikan proyektor bioskop.
Suatu kali, Cinema Paradiso, terbakar. Alfredo terluka, dan semua rol film terbakar. Lalu, bioskop dibangun kembali oleh Ciccio, dan Toto diserahi tugas sebagai petugas proyektor.
Keindahan film yang meraih Academy Award 1989 kategori Film Berbahasa Asing Terbaik ini bukan hanya dari segi kisah maupun visual, juga musiknya yang digarap Ennio Morricone.
“Cinema Paradiso adalah film tentang kekuatan mimpi,” kata Salvatore Cascio, pemeran Toto cilik. “Film ini mengingatkan bahwa kita bisa, dan harus, terus bermimpi.”
“Di film ini, orang-orang pergi ke bioskop untuk bermimpi: dengan menonton film bagus, mereka melupakan segala masalah. Toto juga punya mimpi menjadi sutradara.”
Jika ada film tentang sepasang kakak beradik laki-laki dan perempuan serta sepasang sepatu yang mampu menguras air mata, maka film karya Majid Majidi inilah yang layak disebut.
Sekalipun hanya beroleh nominasi Academy Award 1998 kategori Film Berbahasa Asing, film ini terus dikenang pencinta film karena kisah haru serta visual sederhananya.
Dikisahkan Zahra (Bahare Seddiqi) kehilangan sepasang sepatu pink kesayangan gara-gara kelalaian abangnya, Ali (Amir Farrokh Hashemian). Tanpa sengaja, sepatu itu digondol tukang sampah.
Suatu kali, Zahra mendapati sepatunya dikenakan teman sekolah, Roya (Nafise Jafar-Mohammadi), yang ternyata putri si tukang sampah. Air mata siapa yang tak tumpah melihat adegan ini?
“Tak peduli dari negara atau budaya mana, anda selalu percaya pada persahabatan, nilai kemanusiaan, kedamaian,” kata Majidi kepada AV Club. “Hal itu terangkum dalam budaya dan manifestasi artistik.” Segala sesuatu mungkin saja terjadi. Begitulah tema besar yang disuguhkan sutradara asal Perancis, Jean-Pierre Jeunet dalam film Amelie yang meraih lima nominasi Academy Awards 2002.
Menonton Amelie ( 2001) tak ubahnya menonton kartun. Di salah satu adegan, Amelie (Audrey Tautou) tiba-tiba mencair saat galau melihat sang “kekasih,” Nino Quincampoix (Mathieu Kassovitz).
Sekalipun kocak, film komedi romantis ini tetap memuat nilai positif lewat sosok Amelie, si gadis pramusaji kafe pemalu yang berubah penuh semangat kala berbagi kebahagiaan dengan orang lain.
Amelie tak seperti film Perancis pada umumnya yang semata romantis. Film berdurasi 123 menit ini dibuat dengan bujet US$10 juta, namun mampu menembus box office dan menghasilkan keuntungan US$173,9 juta.
“Segala sesuatu mungkin saja terjadi, tentu saja saya tak mengelak fantasi dan imajinasi, namun saya ingin menyuguhkan emosi. Itulah prioritas utama saya,” kata Jeunet kepada Empire.