Jakarta, CNN Indonesia -- Kabar penutupan Disc Tarra yang mencuat pada Rabu (4/11) lalu, langsung menjadi perbincangan hangat di Twitter. Banyak kalangan yang menyayangkan. Masyarakat kebingungan harus ke mana untuk membeli album musik fisik, seperti CD atau kaset.
Namun pengamat musik sekaligus promotor konser Rock in Celebes, Ardi Chambers optimistis itu bukan "kiamat" bagi dunia musik. Musisi masih banyak yang merilis album fisik. Pun penikmat masih banyak yang mencari rekaman fisik sebagai koleksi.
Penutupan toko hanya masalah bisnis. Kalau toko musik besar makin berkurang, masih ada gerai-gerai independen yang bisa dijadikan alternatif. Mereka mampu bertahan di tengah kerasnya persaingan bisnis di Indonesia. Meskipun, tokonya tak sebesar Disc Tarra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengunjung Pasar Santa pasti sudah tidak asing lagi dengan nama Substore. Seperti gerai lain di Pasar Santa, ukurannya tidak terlalu besar. Namun ia menyimpan "harta harun" bagi para pecinta rilisan fisik seperti CD, piringan hitam, atau Kaset.
Uniknya, Substore seringkali mengimpor barang dagangannya dari Jepang. Penjual memang rutin bertandang ke Negeri Matahari untuk mencari rilisan fisik musik yang nantinya akan di jual di Jakarta.
Selain rilisan fisik, Substore juga menjual pernak-pernik band lokal maupun mancanegara. Substore pun kerap dijadikan perpustakaan musik, karena menyuguhkan berbagai macam literatur atau buku tentang musik. Toko musik yang dibangun dua tahun lalu ini menjadi salah satu magnet yang membuat Pasar Santa ramai dikunjungi. Masih dari Pasar Santa, Laidback Blues Record Store adalah toko musik yang menyimpan banyak kejutan. Selain menjual vinil dan CD, mereka seringkali mengadakan acara-acara yang dapat menarik pengunjung.
Salah satu acara yang diadakan rutin adalah Pasar Ajojing. Dalam acara itu, pengunjung bisa berdansa bersama pengunjung lain, ditemani lantunan musik piringan hitam.
Dekorasi toko ini pun menarik. Terdapat banyak mural di dinding, serta kutipan-kutipan terkenal mengenai musik dan rilisin fisik itu sendiri. Laidback Blues Record Store lebih banyak menjual rilisan fisik bekas, namun kualitasnya tetap terjaga. Lian Record Store adalah salah satu toko musik independen tertua di Indonesia. Umurnya mencapai 53 tahun. Pertama kali dibangun pada tahun 1963 oleh Amirudin Nasution, Lian Record Store hanya tenda.
Nama Lian diambil dari sebutan bagi anak Amirudin. Ia dikenal oleh warga asing sebagai penjaga toko yang ramah dan baik.
Orang-orang dari Italia, Perancis, Inggris, Jerman, Honolulu, Norwegia hingga Amerika Serikat, pernah mengunjungi toko musik yang terletak di Jalan Surabaya ini. Bisa dibilang, setiap kolektor musik mancanegara mengunjungi Indonesia, mereka selalu ke Lian Record Store untuk sekadar berbincang maupun sampai memborong dagangan di sana.
Lian Record Store dianggap sebagai toko musik independen yang memiliki banyak kejutan. Tidak jarang kolektor menemukan piringan hitam, CD, atau kaset yang langka. Tidak hanya album bekas, Lian Record Store juga menjual CD baru musisi lokal. Toko musik independen ini dapat dibilang sebagai yang paling mewah dibanding lainnya. Terletak satu gedung dengan toko buku Aksara di Kemang, Monka Magic memiliki pendingin ruangan dan rilisan fisik musik yang "fresh from the oven" alias baru.
Selain menjual piringan hitam dan CD, mereka juga menjual pernak-pernik musisi lokal dan mancanegara. Pemutar piringan hitam juga dapat ditemukan di toko itu, dengan tipe dan harga yang beragam pula. Selain menjual rilisan fisik CD karya anak bangsa, Demajors yang juga nama perusahaan rekaman sekaligus toko ini jadi satu dengan studio. Demajors dibuat oleh David Tarigan.
Ia merupakan pencetus Aksara Records pada 2004 dan sempat menggarap artis independen legendaris Indonesia seperti The Adams, Sore, The Brandals maupun White Shoes and the Couples Company. Selain menjual rilisan fisik berupa CD, Demajors juga menjual pernak-pernik band-band lokal mereka.
Lokasi Demajors sendiri tidak jauh dari Monka Magic, yakni di depan bar 365 Eco Bar di Jalan Kemang Raya 1 Nomor 6, Jakarta.