Suara Genius Nirwan A. Arsuka dari Cikini

Vega Probo | CNN Indonesia
Rabu, 11 Nov 2015 12:06 WIB
Dalam Pidato Kebudayaan yang disampaikan tadi malam (10/11) di TIM, Jakarta, Nirwan A. Arsuka membawa hadirin menelusuri peradaban.
Nirwan A. Arsuka, budayawan, saat berpidato "Percakapan dengan Semesta" di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (10/11). (CNNIndonesia/Vega Probo)
Jakarta, CNN Indonesia -- “Kita memang tidak ingat lagi kapan persisnya percakapan dengan semesta itu dimulai. Hal yang kita tahu, percakapan itu berhubungan langsung dengan evolusi dan dorongan untuk bertahan hidup di tengah lingkungan yang kompleks.”

Demikian sebait isi Pidato Kebudayaan bertema Pembicaraan dengan Semesta yang disampaikan Nirwan A. Arsuka, tadi malam (10/11) di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.

Pidato yang menjadi tradisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM), sejak 1989, ini menyoroti perkara aktual Indonesia pada tahun pidato digelar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesuai eranya, pidato disampaikan di podium dengan ilustrasi grafis di layar besar yang melatari panggung. Sementara di media sosial, pidato ini dikicaukan dengan tagar #SuaraJernihdariCikini via akun @pidatobudaya.

Topik pidato merupakan hasil diskusi dan penelitian bersama pembicara dan tim Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pembicara tak sebatas kalangan budayawan, melainkan juga cendekiawan.

Pada 2013, astronom Karlina Leksono menyampaikan pidatonya yang menggugah, disusul pada tahun berikutnya sejarawan Hilmar Farid. Dikemas mirip TED Talks, pidato pun memikat kalangan muda.

Sebagaimana terlihat tadi malam, tak sedikit kalangan muda yang menyesaki kursi-kursi Teater Jakarta. Sebelum Nirwan berpidato, terlebih dulu tampil Aksan Sjuman dkk membawakan tiga komposisi.

Salah satu komposisi, Interstelar Medium, dibawakan “berduet” dengan Slamet Abdul Sjukur. Footage sang komposer senior yang telah mangkat tampil di layar lebar yang melatari panggung.

“Konsepnya memang seperti Natalie Cole bernyanyi dengan mendiang ayahnya, Nat King Cole, di lagu Unforgetable,” kata pianis Aisha Sudiarso Pletscher kepada CNN Indonesia usai acara.

Komposisi yang dibawakan Aksan bersama Aisha dkk itu memasukkan suara-suara “alien,” seolah menggiring hadirin untuk menyimak pidato Nirwan yang bersinggungan dengan alam semesta.

Aksan Sjuman dkk membuka Pidato Kebudayaan di TIM, Jakarta (10/11). (CNNIndonesia Antara Photo/Rosa Panggabean/pd/15)
Dimulai dari membahas bola dunia, selanjutnya Nirwan membawa hadirin mengembara melintasi masa, menelusuri peradaban purba hingga perkembangan ilmu pengetahuan di muka Bumi.

“Pengetahuan ilmiah berkembang menjadi bentuk percakapan tertinggi karena ia berusaha sepenuhnya menjadi dialog,” Nirwan membacakan teks pidatonya yang panjang lebar.

Tak heran bila pidato Nirwan tersimak genius. Menilik latar belakangan pendidikannya, ia adalah lulusan Teknik Nuklir Fakultas Teknik Universita Gajahmada, Yogyakarta.

Namun, sebagaimana tertera dalam siaran pers DKJ, Nirwan lebih dikenal sebagai pegiat, pengamat, penulis kebudayaan dan ilmu pengetahuan, juga Direktur Freedom Insitute.

Sebelum mendirikan lembaga nirlaba yang mengusung pemikiran dan kreativitas bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan itu,  Nirwan pernah bekerja di sebuah penerbitan dan menjadi kurator.

“Mencintai dan berterima kasih pada semesta untuk berkah yang demikian berharga,” Nirwan melanjutkan pidatonya yang berdurasi sekitar 45 menit, nyaris tanpa ekspresi.

Meskipun demikian, isi pidato Nirwan sungguh bernas. Di akhir pidatonya, ia menyinggung tentang manusia yang tetap memilih menjadi manusia, ketimbang dewa.

“Memang lebih menarik untuk tetap menjadi manusia yang merangkul hidup, manusia yang menolak menerima mentah-mentah dunia dan semesta apa adanya dan berusaha mewujudkan apa yang mungkin.”

Saat ditemui CNN Indonesia usai berpidato, Nirwan berharap beberapa pokok pemikirannya bisa menyadarkan banyak orang. “Sesungguhnya, pokok permasalahan ada di dalam diri kita semua.”

Nirwan menyiapkan materi pidatonya dalam kurun sekitar dua minggu. Sebagian buah pikiran dalam materi pidato, diakuinya, pernah dimuat di media massa dalam bentuk artikel atau esai.

“Saya merumuskan ulang dan meng-konteks-kan dengan situasi sekarang,” katanya. Dalam pandangan Nirwan, sebagian masalah kini disebabkan cara pendidikan yang keliru.

Nirwan A. Arsuka memulai Pidato Kebudayaan dengan membahas bola dunia, dilanjutkan soal peradaban di muka Bumi. (CNNIndonesia/Vega Probo)
Ia prihatin melihat kebanyakan orang tua dan guru lebih menyukai anak-anak dengan kepintaran biasa dan penurut, ketimbang yang cerdas, kritis, kerap bertanya, serta bikin kacau dan repot.

Untuk itu, Nirwan memandang perlu upaya segenap pihak untuk “membereskan banyak hal dengan benar, dari cara kita berpikir, serta cara kita memahami kesimpulan.”

Anak-anak, di mata Nirwan perlu diajak bermain, tanpa terlalu dibatasi untuk memecahkan masalah sendiri. Apalagi terlalu diharapkan menjadi si penghapal, si penurut.

“Ya, kalau kecepatan berpikir tidak bisa diperbaiki, paling tidak punya memori yang baik dulu, deh,” kata Nirwan, “sehingga kita tidak mengulangi kesalahan lama yang dibikin orang lain.”

Menurut Hilmar Farid, apa yang dibicarakan Nirwan berangkat dari masalah yang dihadapi masyarakat sekarang ini di mana ada krisis multidimensi yang memaksa orang mencari jawabannya.

Jawaban itu, menurut Farid, ada di dalam keyakinan. “Nah, karena keyakinan yang dipegang masing-masing berbeda, maka benturan-benturan tak terhindarkan,” kata Farid kepada CNN Indonesia.

Celakanya, benturan demi benturan terus terjadi tanpa ada penyelesaian. Di tengah kebuntuan itu, menurut Farid, Nirwan berusaha mencari jalan keluar melalui Pidato Kebudayaannya.

“Di tengah kegalauan yang melanda dunia sekarang, dia menggiring kita kepada sesuatu basic yang bisa menjadi pegangan kita. Tapi saking basic-nya, cenderung dilupakan, yaitu sains.”

Farid mengagumi cara berpikir ilmiah yang diusung Nirwan. Menurutnya, semestinya sains bisa menjadi pegangan di tengah kegalauan yang kita hadapi sekarang.

“Jadi apa yang diangkat oleh Nirwan sebetulnya proses sejarah yang sangat panjang, yang untuk ke-sekian kali manifestasinya kita lihat muncul kembali di zaman sekarang,” kata Farid.

Selama belum ada jawaban yang mantap terhadap persoalan-persoalan itu, menurut Farid, apa yang dibicarakan Nirwan adalah interfensi yang sangat relevan.

Farid memandang pentingnya nalar dalam kehidupan sosial sekarang. Apalagi sejak ratusan tahun lalu, orang sudah memperjuangkan sains sebagai cara berpikir yang sah di muka Bumi.

(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER