Apakah Anda pernah mendapat kritik dari sesama sineas karena membuat film ini? Bagaimana dengan dukungan keluarga atau orang terdekat?
Saya bisa bertahan selama lebih dari satu dekade membuat dua film tentang kekejaman yang terjadi di Indonesia justru karena dorongan dari pembuat film lainnya—terutama dari produser eksekutif kami yang sangat berpengalaman dan terpandang di dunia perfilman yaitu Werner Herzog dan Errol Morris.
Selain itu, ayah dan ibu saya adalah seorang akademisi dan aktivis hak asasi manusia. Mereka sangat mendukung saya sepanjang perjalanan panjang ini, apalagi mengingat kakek dan nenek saya adalah penyintas yang lolos dari maut pembantaian NAZI Jerman pada Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya dibesarkan dalam keluarga yang berpandangan bahwa tujuan akhir dari semua politik, kesenian, dan moralitas adalah untuk mencegah kekejaman luar biasa seperti Holocaust berulang kembali di mana pun, kapan pun, dan kepada siapa pun.
Jika film Anda dibagikan secara gratis, lantas dari mana Anda dapat untung?
Proses pembuatan
The Act of Killing dan
The Look of Silence tidak didanai dengan model pembiayaan komersial, tetapi dengan pendanaan dari lembaga penelitian, seperti misalnya Royal Arts & Humanity Council (semacam LIPI di Inggris untuk ilmu humaniora).
Sejak awal, film kami memang tidak pernah berencana menjadikannya film komersial di Indonesia, dan kami tidak akan mengambil keuntungan atau meminta bayaran dari siapa pun di Indonesia. Oleh karena itu, untuk membiayai program distribusinya kami mengalihkan sebagian dari keuntungan distribusi film di luar Indonesia yang dijual lewat DVD atau dari tiket bioskop.
Selain itu film
The Act of Killing dan
The Look of Silence mendapatkan banyak penghargaan, dan sebagiannya berupa uang; dan ini tentu saja sangat membantu kami dalam mendistribusi film keduanya secara gratis di Indonesia.
Sebagai profesional, apa apresiasi yang ingin Anda dapat? Apakah penonton yang membuncah saja sudah cukup untuk Anda?Apresiasi terbesar bagi saya adalah ketika penonton tersentuh oleh karya yang saya buat dan hal itu kemudian mengubah keadaan menjadi lebih baik. Saya ingin orang tidak saja menonton film saya, tetapi juga memperbincangkannya dan mencari jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi bersama. Itu sebabnya, dalam distribusi film di Indonesia, saya bersama tim Indonesia mengutamakan pemutaran agar penonton bisa saling duduk bersama dan saling meminjam perasaan satu sama lain dan saling berbicara dengan menatap mata. Ini akan berdampak lebih kuat daripada ketika penonton filmnya sendiri-sendiri.
Saya berharap kedua film saya dapat membantu orang-orang di Indonesia memulai sebuah proses penyembuhan trauma yang telah terbengkalai setengah abad lamanya. Untuk itu, langkah pertama adalah membuat sebanyak mungkin orang di Indonesia menonton filmnya, lalu membicarakannya. Ini adalah langkah yang paling sederhana yang bisa dilakukan oleh penonton film.
Saya juga berharap banyak pada generasi muda di Indonesia agar mulai berpikir kritis terhadap apa yang selama ini mereka anggap sebagai sejarah. Saya tidak mungkin mengganti kurikulum sejarah nasional di Indonesia, tapi saya berharap generasi muda terilhami dan mulai memilah mana yang propaganda dan mana yang sejarah yang masuk akal. Setidaknya, walaupun tidak mungkin tuntas membenahi sejarah di Indonesia, generasi muda di Indonesia mulai belajar mengenai apa yang selama ini ditutup-tutupi dan mulai meragukan kebenaran propaganda yang selama ini disusupkan ke ruang-ruang kelas sebagai sejarah.
Menurut Anda, lebih baik film ditonton secara gratis atau orang harus membayar, yang menunjukkan bahwa mereka menghargai film itu?Apresiasi dalam segala bentuk sangat diperlukan. Dan buat saya, uang hanyalah simbol praktis dari tenaga dan waktu yang dikeluarkan seseorang. Dan sebetulnya apresiasi dalam bentuk uang bisa muncul dalam bentuk aslinya: dalam bentuk kontribusi kerja. Ada lebih dari 3.000 pemutaran
The Act of Killing dan
The Look of Silence di seluruh Indonesia, dan itu bisa terselenggara karena orang-orang mau meluangkan waktu dan tenaganya.
Di Indonesia hal ini terjadi karena kami harus berhadapan dengan bioskop komersial yang mengandalkan apresiasi dalam bentuk uang. Dan bioskop komersial tidak mau memutarkan film kami karena kedua film kami tidak punya surat lolos sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF). Jadi bisa dilihat, ketika sistem apresiasi dalam bentuk uang—dengan kata lain komersial—tidak berjalan, bentuk apresiasi dalam bentuk lain—dalam bentuk kontribusi kerja dan pengorganisasian—menjadi sangat diperlukan dan bisa berhasil. Bisa dikatakan, para penyelenggara pemutaran film berhasil membangun sendiri jaringan bioskop alternatif bagi penonton yang tak akan dijangkau oleh jaringan bioskop komersial.
Apa proyek Anda selanjutnya? Masih akan berkutat mengeksplorasi masa lalu kelam masyarakat Indonesia?Saat ini saya sedang mengerjakan film mengenai keserakahan dan kebodohan. Tetap mengeksplorasi kegelapan kemanusiaan, tapi tidak diambil gambarnya di Indonesia.
Rasanya, bagi saya, semua tentang Indonesia yang bisa saya angkat ke dalam film sudah saya tuangkan ke dua film saya,
The Act of Killing dan
The Look of Silence. Apa pun yang mungkin saya angkat tentang Indonesia ke dalam film hanya akan menjadi perulangan saja.
Saya tidak berencana membuat diptych (dua gambar yang bersisian)
The Act of Killing dan
The Look of Silence menjadi sebuah trilogi. Jika ada babak ke-tiga, dan babak ke-empat, dan babak-babak selanjutnya, maka babak itu adalah milik orang Indonesia.
(rsa)