Rajawali dan Pancasila 'Bersahutan' pada Malam Puisi

Silvia Galikano | CNN Indonesia
Selasa, 22 Des 2015 19:32 WIB
“Saya tidak biasa baca puisi, biasanya ngetok palu,” kata mantan Ketua MK Hamdan Zoelva di acara Malam Baca Puisi Tokoh Nasional.
Hamdan Zoelva (CNN Indonesia ANTARA FOTO/Andika Wahyu/ama/14)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tamu Misterius, puisi buatan Afrizal Malna, dipilih Hamdan Zoelva untuk dia bacakan. Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu memberi pengantar dengan ekspresi tenang, ekspresi yang sangat dihafal ibu-ibu, “Saya tidak biasa baca puisi, biasanya ngetok palu.”

Dengan kertas di tangan kiri, tubuh dihadapkan ke depan agak ke kiri, meluncurlah kalimat-kalimat berikut dengan intonasi mantap dan artikulasi jelas.

Tamu itu menduga aku tidak memiliki kursi untuk mati, jika tidak memiliki lantai untuk hidup / Menunggu. Ditunggu. Janji jam tujuh malam / Ia suguhkan kata penghapus dari sebuah toko buku kepada tamunya, seperti bayangan yang terlepas dari tempatnya // Kau tamuku yang aku tunggu dari kesalahan mengetik kata hapus dengan sebuah cerita tentang pagi hari yang cerah / Kau sudah tidak sempat lagi merapikan yang tidak bisa lagi dihapus, setelah puisi ini / Penghapusnya membuat jam lima sore, tembus hingga tak terlihat lagi kekosongannya ///

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hamdan Zoelva bersama banyak tokoh nasional membacakan puisi pada Malam Baca Puisi Tokoh Nasional 2015 yang diadakan Kantor Berita Politik Rakyat Merdeka Online di Ruang Serbaguna Galeri Nasional, tadi malam (21/12).

Di sana, ada pula Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menteri Desa dan Pembangunan Tertinggal Marwan Jafar, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Bupati Bengkulu Tengah Ferry Ramli, Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya.

Hamdan adalah satu dari beberapa tokoh yang membacakan puisi bukan karya Rendra dan satu dari sedikit yang memilih tema puisi bukan nasionalisme yang menggebu-gebu.

Beda lagi dengan pengusaha Setiawan Djody, yang membacakan puisi karyanya sendiri yang baru saja rampung sore harinya karena sudah menduga bakal banyak yang membacakan karya W.S. Rendra. Ini puisi pertamanya sejak 25 tahun, berjudul Rajawali Belantara.

Gagah berani setiap pada janji / Kau adalah harapan / Makna merajut masa depan kita // Revolusimu dengan cinta / Suara bersama adalah “kantata kantata” ///

Simbol rajawali juga diambil sebagai judul puisi Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M. Massardi, Rajawali Kembali, puisinya dari tahun 2009.

Aku rajawali / Yang kau kira sudah mati // Padahal rajawali tak pernah mati / Hanya terbang tinggi memasuki sepi / memandang dunia menyaksikan tingkah polahmu yang menjijikan ///

Karya-karya Rendra setidaknya empat kali dibawakan, seperti Kesadaran adalah Matahari oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Sajak Burung-burung Kondor oleh Anggota DPRD DKI Jakarta Sereida Tambunan.

Dan “rajawali di atas semua rajawali,” Sajak Rajawali karya legendaris Rendra, malam itu dibacakan dengan sangat bagus oleh Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya. Dia sempat berseloroh sebelum turun panggung, tentang kesamaan antara baca puisi dan BPJS, “Sama-sama demo.”

Sabar Gorky, tadi malam, naik panggung membacakan puisi Doa di Jakarta karya Rendra. Pendaki tunadaksa ini baru saja berhasil mendaki puncak Cartenz Pyramid Gunung Jaya Wijaya, Papua, gunung tinggi ke-tiga yang sudah didakinya setelah puncak Gunung Kilimanjaro di Tanzania, Afrika dan puncak Gunung Elbrush di Rusia.

Ada empat gunung lagi yang jadi target berikutnya, termasuk Aconcagua di Agentina dan Puncak Everest di Nepal. Jika empat gunung itu berhasil didaki, Sabar Gorky jadi satu-satunya tunadaksa di dunia yang berhasil mendaki tujuh gunung tertinggi di dunia.

Para tokoh tersebut membacakan puisi berseling anak-anak tuna netra membacakan sila-sila dari Pancasila dan penayangan video yang memuat filosofi sila tersebut melalui guntingan judul-judul berita.

Gambar-gambarnya memaparkan betapa setiap sila telah dilanggar berkali-kali oleh bangsa Indonesia sendiri. Pancasila terpinggirkan dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat.

Di sinilah kreasi seni dibutuhkan, untuk menghadirkan kembali rumusan dan esensi Pancasila. Dan puisi merupakan salah satu sarana yang tepat mengungkapkan semua itu. (sil/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER