Indonesia Jadi Incaran Seniman Graffiti Asing

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Senin, 21 Des 2015 09:05 WIB
Seniman graffiti dari negara matriks seolah menjadi liar ketika mendapati "kanvas" raksasa—tembok di sudut kota-kota di Indonesia.
Foto: Adhi Wicaksono
Jakarta, CNN Indonesia -- Pernah melihat coretan gambar atau tulisan yang kadang tak mudah terbaca di tembok-tembok perkotaan? Gambar tersebut dinamakan graffiti yang merupakan bagian dari street art.

Di Indonesia, ada kalanya graffiti masih dianggap sebagai aksi vandalisme yang merusak sarana publik. Namun siapa sangka, ternyata Indonesia pernah menjadi incaran para seniman graffiti seluruh dunia.

"Pada 2010 lalu, Indonesia hot ada di nomor satu," kata Tuts, seniman graffiti senior Indonesia saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di  Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta, baru-baru ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan Tuts didasari komentar sesama seniman graffiti asing yang menganggap Indonesia sebagai "kanvas" idaman. Di antara segudang alasan, salah satunya yaitu kemudahan berkarya di sembarang tembok.

Menurut penuturan Tuts, para seniman di Singapura mengalami kesulitan berkarya karena hukuman di Negeri Singa sangat ketat terkait aksi vandalisme. Yaitu, hukuman cambuk ditambah kurungan penjara selama tiga tahun. Kondisi negara yang membuat seniman jalanan sulit berkreasi tersebut diberi julukan negara matriks.


Di Malaysia, seniman jalanan tidak terlalu berkembang karena minim peminat. Filipina, disebut Tuts, tak memiliki banyak perbedaan dengan Indonesia.

Maka tak heran bila seniman graffiti dari negara matriks seolah menjadi liar ketika mendapati "kanvas" raksasa—tembok di sudut kota-kota di Indonesia. Mereka pun leluasa berkarya saat kebanyakan orang sudah terlelap.

"Wah, kami undang mereka ke Jakarta, langsung brutal," kata Tuts. "Indonesia menjadi target liburan mereka yang disebut spraycation, jadi liburan—vacation—sambil ngecat," ia menambahkan.

Tuts menyadari, kegiatan graffiti kadang bertentangan dengan regulasi hukum. Bagi Tuts, justru drama yang terjadi setiap malam saat mereka berkarya adalah bumbu yang menggairahkan seniman graffiti, terutama drama negosiasi dengan petugas Satpol PP, polisi, juga preman atau mereka yang mengaku preman.


Kegiatan graffiti memang berisiko. Karena itu, seniman jalanan dituntut pintar-pintar mengatur strategi agar terhindar dari aksi penangkapan oleh pihak berwajib.

Strategi yang dijalankan, meliputi perancangan desain gambar, jumlah sumber daya yang melakukan, hingga efisiensi pelaksanaan yang memerlukan ketepatan waktu—bila tak ingin tepergok oleh orang lain.

"Kata dedengkot graffiti di Los Angeles, kalau legal, bukan graffiti street art namanya," kata Tuts. "Kalau dibilang graffiti itu light criminal, benar juga. Dalam pengerjaannya, dituntut mengamati kebiasaan orang di lingkungan target. Dan setiap daerah punya ceritanya sendiri-sendiri, ini yang bikin seru."

Keseruan tersebut semakin terasa di Asia. Selain diisi banyak seniman graffiti dengan jam terbang tinggi, Asia memiliki keunikan dari kondisi bangunan yang kebanyakan tak terawat. Justru, menurut Tuts, para seniman graffiti mencari dinding-dinding kusam dan lapuk sebagai "kanvas" untuk menumpahkan ide kreatif mereka.

Bagi seniman graffiti, justru tugasnya adalah memperindah kawasan sub-urban yang jeleknya minta ampun. Lihat tembok yang bersih putih rapi mah mending gambar di studio, sama aja rasanya. Kalau dinding demek, itu yang dicari.Tuts, seniman graffii Indonesia
Dinding kusam dan lapuk tak terawat menjadi tantangan tersendiri dalam pembuatan graffiti. Kebanyakan dinding macam itu sudah memiliki motif akibat noda, sehingga menjadi tantangan tersendiri untuk menghasilkan gambar yang bagus.

Belum lagi campuran kapur yang biasa digunakan pada cat, meski bila orang awam akan kesal bila terkena noda kapur tersebut, para seniman ini malah kegirangan.

"Bagi seniman graffiti, justru tugasnya adalah memperindah kawasan sub-urban yang jeleknya minta ampun. Lihat tembok yang bersih putih rapi mah mending gambar di studio, sama aja rasanya. Kalau dinding demek, itu yang dicari," kata Tuts.

"Beda gambar di Amerika dan Eropa dengan di Asia. Di Barat, mereka temboknya rapi. Tapi ketika mereka melihat gambar saya di dinding demek, mereka terpukau. Orang bule juga senang melihatnya. Mereka mana ada tembok berkapur yang kadang kalau dicat malah ngelotok, bahkan batanya rontok," kata Tuts sambil tertawa. "Itu lebih menantang."

(end/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER