Jakarta, CNN Indonesia -- Gemerlapnya industri hiburan selalu dibarengi dengan kecemasan: bagaimana cara untuk mempertahankan gemerlap tersebut?
Selain masalah perbedaan gender, isu rasial, sensor dan pembajakan, lambatnya pertumbuhan penonton film juga menjadi salah satu hal yang dikhawatirkan oleh para sineas di dunia dan Indonesia.
Tidak ada salahnya mencari jalan keluar. Salah satu yang sedang digadang pemerintah Indonesia demi merangsang pertumbuhan penonton film ialah dengan menambah jumlah bangunan bioskop.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lama ini, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf mengatakan, pemerintah Indonesia sepakat membuka 100 persen kesempatan investasi bagi asing di bidang usaha jasa perfilman.
Dengan demikian, jaringan bisnis usaha perfilman dari luar negeri bebas masuk ke Indonesia, tak lagi dibatasi kepemilikan sahamnya hanya 51 persen.
Beberapa pihak menganggap keran kerja sama dengan asing seolah menjadi jalan pintas pemerintah Indonesia untuk mencari jalan keluar.
Tapi beberapa juga yang menganggap kerja sama dengan asing dapat mencerahkan masa depan perfilman Indonesia.
Di antara banyak kebingungan mengenai hal ini,
CNN Indonesia.com meminta pencerahan dari Badan Perfilman Indonesia (BFI), badan bentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf) sejak 2014.
Dihubungi melalui pesan pendek, baru-baru ini, Ketua BPI Kemala Atmojo mengatakan, keputusan pemerintah Indonesia membuka keran kerja sama dengan asing patut didukung, asalkan memenuhi beberapa syarat.
Syarat tersebut, menurut Kemala, pemerintah harus mengetahui apa dampak baik dan buruk dari kebijakan tersebut, karena sebuah kebijakan yang telah diterapkan mustahil untuk dibatalkan.
"Tujuan dibukanya keran kerjasama asing agar bioskop muncul di desa-desa. Jika ini diawasi dan dilakukan, salah satu tujuan kebijakan sudah terpenuhi."Kemala Atmojo, Ketua Badan Perfilman Indonesia. |
"Pemerintah bisa mengadakan pertemuan dengan para pemangku kepentingan yang terkena dampak kebijakan. Dengan begitu, mereka bisa saling memberi masukan," kata Kemala.
Syarat berikutnya ialah adanya kepastian pihak asing membangun bioskop yang merata di berbagai daerah.
Diketahui selama ini memang banyak daerah di pelosok Indonesia yang belum memiliki bioskop.
"Tujuan dibukanya keran kerja sama asing agar bioskop muncul di desa-desa. Jika ini diawasi dan dilakukan, salah satu tujuan kebijakan sudah terpenuhi," ujar Kemala.
Bioskop selalu menjadi kambing hitam ketika masalah mengenai jumlah penonton film mencuat.
Menurut Kemala, banyak yang belum mengerti kalau menjalankan bisnis bioskop itu tidaklah gampang, bahkan bagi pihak asing sekalipun.
"Membuat bioskop gampang, mempertahankannya susah. Bagaimana membuat bioskop tidak rugi, tetap memutar film sesuai porsi, itu yang sulit," ujar Kemala.
"Penonton adalah hakim terakhir dari film komersial. Jangan anggap remeh penonton," lanjutnya.
Membuat pemerintah mendengarkan suara dari para pemangku kepentingan yang terkena dampak kebijakan mungkin persoalan yang tidak sulit. Namun menyatukan orang-orang tersebut tidaklah yang semudah dibayangkan. Padahal kebijakan perlu segera dipahami agar dapat dukungan.
"Membuat bioskop gampang, mempertahankannya susah. Bagaimana membuat bioskop tidak rugi, tetap memutar film sesuai porsi, itu yang sulit."Kemala Atmojo, Ketua Badan Perfilman Indonesia. |
Kemala mengerti ada banyak kubu di industri perfilman Indonesia. Tapi ia tidak perlu merasa harus risau, karena itu hanyalah bentuk demokrasi yang terjadi.
"Perbedaan pendapat itu biasa. Pemerintah mengurusi politik, pekerja film mengembangkan kreativitasnya," kata Kemala.
"Ke depannya, Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dapat segera menjadi payung bagi industri perfilman di Indonesia," lanjutnya.
Kebijakan keran kerja sama asing akan membuat Indonesia diserbu dengan film-film karya sineas asing.
Tapi Kemala berharap sineas lokal tidak berkecil hati dan harus menganggap hal tersebut sebagai tantangan.
"Kalau sudah sepakat ada kebijakan berarti pemerintah sudah merasa Indonesia siap. Meski banyak film asing saya rasa film lokal tidak akan tergeser," tutup Kemala.
(ard/vga)