Tim 'Surat dari Praha' Tanggapi Tudingan Plagiarisme

Fadli Adzani & Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Selasa, 02 Feb 2016 18:09 WIB
Penulis dan dosen dari Malang menerbitkan buku berjudul Surat dari Praha 2012 lalu. Ia menuding Visinema melakukan plagiarisme.
Poster Surat dari Praha. (Dok. Visinema Pictures)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jauh sebelum Angga Dwimas Sasongko dan tim Visinema Pictures merilis film terbaru mereka, Surat dari Praha pada 28 Januari lalu, seorang dosen Universitas Brawijaya bernama Yusri Fajar membuat karya sama.

Ia menerbitkan buku yang juga berjudul Surat dari Praha, 2012 lalu. Penulis asal Malang, Jawa Timur itu lantas berkoar bahwa tim Angga melakukan plagiarisme. Sang sutradara pun mengelak mentah-mentah.

Menurutnya, kesamaan judul belaka bukanlah pelanggaran hak cipta. Hak cipta biasanya melindungi konten karya, bukan judulnya. "Kesamaan judul pada media seni yang berbeda adalah hal yang biasa terjadi," ujar Angga dalam pernyataan, Senin (1/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Surat dari Praha yang dibikin Angga pun sebenarnya sudah ada sejak empat tahun lalu sebagai ide cerita. Setelah riset, praproduksi, produksi, dan pascaproduksi, film baru bisa dinikmati awal tahun ini.

Ia melanjutkan, Surat dari Praha (Letter from Prague) juga pernah digunakan sebagai judul buku oleh Sue Gee pada 1994. "Juga oleh Raya Czerner Schapiro dan Helga Czerner Weinberg pada 1991," lanjutnya.

Surat dari Praha pun jelas sudah memiliki sertifikat hak cipta dari Ditjen HKI Kemenkumham dan telah mendaftarkan paten atas judul Surat dari Praha di kelas 41 terkait dengan Film Bioskop, kelas 9 terkait dengan Cakram Digital dan kelas 16 terkait dengan Poster. Sehingga jika ada kesamaan, pihak Angga dilindungi UU.

Lagipula, katanya lagi, Surat dari Praha merupakan kata-kata yang umum, bukan organik. Formula yang sama bisa digunakan untuk "Surat dari Jakarta," "Surat dari Depok," "Surat dari Buncit," dan lainnya.

Kalau pun ada kesamaan, ceritanya tentang secuil narasi dari tragedi 1965 seperti yang diangkat tim Angga, menurutnya itu pun tak bisa dituntut secara hukum. Sebab, peristiwa 1965 merupakan fakta sejarah.

Artinya, tidak ada satu pihak pun yang dapat mengklaimnya sebagai milik pribadi. "Itu milik bangsa Indonesia. Kalau yang seperti itu bisa diklaim, suatu saat saya juga bisa mengklaim bahwa kuntilanak cerita saya," Angga sebelumya pernah menuturkan pada CNNIndonesia.com.

Secara cerita, Surat dari Praha juga banyak dikaitkan dengan buku berjudul Pulang karya Leila S. Chudori. Keduanya sama-sama bercerita tentang mahasiswa Indonesia di luar negeri yang tak bisa pulang karena tragedi 1965 meletus.

Namun ditegaskan Angga, keduanya benar-benar berbeda. Pulang, tuturnya, didasarkan pada kisah Sobron Aidit, adik dari DN Aidit yang memang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Mereka pergi ke Peking buat mengikuti perayaan ultah PKI di china. Lalu pecah peristiwa G30S, mereka tidak bisa pulang dan tinggal di China sampai pecah revolusi budaya," Angga yang juga merupakan aktivis dan pencinta sejarah itu menjelaskan.

Seperti dalam cerita Pulang, Aidit sempat luntang-lantung sampai akhirnya Perancis membuka suaka bagi orang yang menjadi "korban" Perang Dingin. "Seperti Kafka sang penulis itu," Angga menyebutkan.

Perancis pernah menjadi zona netral tempat para eksil berkumpul. Di sanalah cerita Pulang bermula. Sedang Surat dari Praha yang digarapnya, bercerita tentang mahasiswa yang tak ada kaitan apa pun dengan PKI. Mereka nasionalis, menolak pulang ke Indonesia dan Orde Baru.

Karena itu, mereka tak punya kewarganegaraan dan bertahun-tahun berlindung di Palang Merah Internasional. "Jadi apanya yang sama?" tanya Angga.

Ia menyesalkan tudingan plagiarisme disampaikan Yusri pada Visinema Pictures sebelum film Surat dari Praha ditayangkan di bioskop. Dengan demikian, orang tak bisa membedakan. Namun sekarang, penonton bisa melihat ia tak menjiplak karya orang.

Menurut Angga, tudingan itu sedikit banyak merugikan nama baiknya dan Visinema Pictures. "Karena pemberitaan secara sepihak yang menggiring opini publik untuk menghakimi kami tanpa legal standing yang kuat," ujar sutradara Filosofi Kopi dan Cahaya dari Timur: Beta Maluku itu.

Angga sendiri mengaku belum menerima somasi resmi dari Yusri. Karena itu ia juga tak mengerti keberatan Yusri secara hukum. "Sulit untuk kami mempelajari dan merespons," kata Angga melanjutkan.

Yusri hanya mengoarkan tudingan plagiarisme yang dimaksudnya. Visinema mengaku berniat baik menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Namun Fajar dan kuasa hukumnya tidak merespons niatan itu.

Visinema Pictures pun ganti melayangkan somasi atas dasar pencemaran nama baik, sebanyak dua kali. Somasi sudah diterima, tetapi juga tidak direspons oleh Yusri.

(rsa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER