Jakarta, CNN Indonesia -- Ulang tahun ke-80 pengarang Nh Dini digelar sederhana dalam suasana hangat, Senin (29/2), di Vina House, Semarang. Acara bertajuk
Pertemuan Dua Hati, diambil dari judul novel Dini, merupakan kerja sama Sedekah Budaya, Forum Pencinta Nh Dini Semarang, dan Kumandang Sastra.
Hadir dua kakak Dini, yakni Heratih dan Maryam. Dini adalah bungsu dari lima bersaudara. Empat kakaknya adalah Heratih (89 tahun), Nugroho (almarhum), Maryam (82 tahun), dan Teguh Asmar (almarhum).
Sahabat-sahabatnya sesama seniman yang tampak antara lain Toeti Heraty Rooseno, Ajip Rosidi, Ahmad Tohari dan Taufiq Ismail.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dini, yang mengenakan kebaya hijau, syal sogan, dan kain batik hijau, di atas panggung menceritakan masa hidupnya sejak kecil hingga saat ini, termasuk kesulitan yang dia terima setelah memutuskan hanya hidup dari sastra.
Betapa sastra di Indonesia masih dianggap sebagai hobi, bukan profesi, sehingga pelakunya tak wajib mendapat imbalan.
Menurut Dini, baru tiga tahun terakhir saja dia dibayar saat memberi ceramah atau kuliah umum. Sebelumnya, dia hanya diberi kain bahan, sepatu, tas, atau benda lain. Sampai-sampai bahan baju di lemarinya ada setumpuk dan sandal dibagi-bagikan ke orang lain.
Masih belum lama juga, lanjut Dini, dia menerima surat elektronik dari seseorang yang memperkenalkan diri sebagai direktris perpustakaan sebuah bank besar. Sang direktris menanyakan kesediaan Dini berbagi pengalaman mengelola taman bacaan anak-anak, Pondok Baca.
Dengan gamblang Dini minta disediakan tiket pesawat ekonomi pergi-pulang dan honor Rp2 juta untuk berbicara selama dua jam.
“Dia tidak menjawab apa-apa, misalnya ‘kami tidak mampu’ atau ‘anggarannya tidak cukup.’ Ini tidak.
Cep, klakep, mingkem. Itu kan menghina saya. Menyedihkan sekali,” kata Dini.
Minimnya penghargaan terhadap sastrawan juga jadi perhatian dalam pengantar oleh Ketua Forum Pencinta Nh Dini Semarang, Triyanto Triwikromo.
“Masih ada waktu untuk mengucapkan terima kasih, membalas budi, dengan cara memberi penghargaan yang layak, memberi biaya hidup sepanjang sisa hidupnya. Jangan sampai beliau mengeluarkan uang sendiri untuk tusuk jarum,” ujar Triyanto.
Tiga kali sepekan Dini tusuk jarum di Pak Tjiong untuk mengendalikan vertigo dan osteoartritis di lututnya. Khusus untuk Dini, Pak Tjiong tak memungut bayaran, namun biaya taksi bolak-balik Banyumanik-Jagalan menghabiskan lebih kurang Rp300 ribu.
“Kami, Forum Pencinta Nh Dini Semarang, tidak bisa apa-apa, kecuali mengetuk hati siapa pun untuk lebih memperhatikan mbak Dini,” kata Triyanto.
Sebelumnya, Dini membuka sesi bicaranya dengan menjelaskan bahwa semula, namanya terdiri dari dua “rangkaian”, yakni Nurhayati Sri Hardini dan Siti Nukatin. Saat dewasa, dengan terlebih dulu meminta maaf kepada leluhur, dia membuang rangkaian ke-dua, sehingga nama resminya kini adalah Nurhayati Sri Hardini.
Nama dua anaknya, Marie-Claire Lintang dan Pierre-Louis Padang, juga sempat dia singgung. Lintang, dalam bahasa Jawa berarti bintang, dipilih agar anak sulungnya ini tetap bersinar walaupun di langit hitam.
Sedangkan nama Padang didapat Dini saat mengandung, sewaktu tiba-tiba di kepalanya meletik sesuatu yang menyala.
“Saya mendapat gambaran, ‘Ah, kalau begitu terus, saya akan begini, begini, begini. Pikiran saya jadi padang [terang/cerah].”
Dalam sesi Tetimoni, kawan-kawannya bercerita tentang pengalaman unik selama berteman dengan Dini, yang tak seluruhnya manis.
Taufiq Ismail mengenal nama Nh Dini dari rasa cemburu karena banyak cerpen karya perempuan ini dimuat di majalah
Kisah, sementara cerpen Taufiq bolak-balik ditolak.
Padahal, kata Taufiq, puisi pertamanya, sudah dimuat di koran
Sinar Baru waktu dia masih kelas 2 SD. “Namun puisi ‘bengkok-bengkok’ begitu terpaksa dimuat karena yang menulis anak Wakil Pemimpin Redaksi
Sinar Baru Gaffar Ismail. Jadi bukan karena puisi saya bagus,” ujar Taufiq, lalu tergelak.
Untuk hari istimewa ini, Taufiq memberikan puisi kepada Nh Dini, berjudul
Semoga Negeri Kita Masih Disayangi Tuhan.Ajip Rosidi lain lagi ceritanya. Dia pernah menulis surat marah-marah ke Dini ketika tahu Dini menikah dengan orang Prancis. Maka pada hari ulang tahun sahabatnya ini dia gunakan kesempatan “meluruskan” tuduhan, bahwa dia dulu tidak marah-marah.
“Saya kecewa, kok kawin sama orang asing, seperti tidak ada laki-laki di Indonesia,” yang langsung disambut gelak undangan. “Jadi, atas nama nasionalisme, bukan sembarangan.”
Perayaan 80 Tahun Nh Dini diisi pula dengan pertunjukan tari Topeng Sitayana oleh Ayu Bulantrisna Djelantik. Ceritanya tentang gejolak perasaan Sita setelah dibebaskan dari penjara belasan tahun Rahwana, tapi kemudian suami tercinta menyangsikan cinta dan kesetiaannya.
“Saya berutang budi pada Mbak Dini. Yang dapat saya berikan adalah sebuah karya, sebuah tarian, cerita beribu-ribu tahun yang lalu,” kata Bulantrisna Djelantik usai tampil.
Bulantrisna, penari Bali yang namanya jadi tujuan persembahan novel
Pada Sebuah Kapal, dikenal Dini sewaktu tinggal di Kamboja, pada 1964. Bulantrisna saat itu anggota rombongan kesenian yang dibawa Menteri Priyono.
Karena kostum tari Legong-nya sudah tua, rapuh, dan sobek, Dini lalu membawa Bulantrisna ke penjahit langganan Dini untuk dibuatkan kostum baru.
Berselang-seling dengan penampil lain adalah musikalisastra, yakni komposisi musik dengan lirik lagu yang diambil dari tiga novel Nh Dini:
Pertemuan Dua Hati, Tirai Menurun dan
Pada Sebuah Kapal. Satu puisi sengaja ditulis Triyanto Triwikromo untuk memperingati ulang tahun Nh Dini.
Keempat komposisi musiknya dibuat Stefanus Agus. W. Puisi/lirik
Pada Sebuah Kapal, Pertemuan Dua Hati serta
Tirai Menurun dibuat Sulis Bambang dan Sofyan Adrimen. Sedangkan
Sebuah Lorong di Hatiku oleh Triyanto Triwikromo.
Seperti ini adaptasi puisi Pada Sebuah Kapal:
Duhai penari yang terluka oleh cinta/ temukan romansa di kapal// Pengelana/ gelora dirasa/ dihirup dicecap sepenuh rasa// Tak peduli apa-apa/ tak peduli siapa// Cinta begitu menggoda/ tak perlu janji setia// Pernikahan di genggaman/ cuma catatan/ dalam kenangan/// (sil/vga)