Jakarta, CNN Indonesia -- Perayaan Hari Film Nasional tahun ini (#HFN2016) mengusung tema
Film Indonesia adalah kita. Menurut Ketua Panitia #HFN2016 Niniek L. Karim, kata "kita" merujuk masyarakat Indonesia.
“Seluruh rangkaian acara HFN 2016 harus merakyat sesuai tema ‘Film Indonesia adalah kita,'" kata sang aktris kawakan sebagaimana tertera dalam siaran pers #HFN2016.
Pertanyaannya: benarkah tercermin kebersamaan dalam tema #HFN2016 yang digelar pada hari ini, Rabu (30/3), sementara masih ada insan dan karyanya yang terpinggirkan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila diibaratkan, lokasi syuting film sendiri tak ubahnya kampung yang dihuni masyarakat dengan beragam profesi. Mereka yang sehari-harinya disorot lampu, tentu menjadi terkenal dan diapresiasi.
Berbeda halnya dengan kru film yang bekerja di balik layar. Nasib mereka kadang mengenaskan. Padahal tanpa keterlibatan mereka, proses produksi film tak akan bisa diselesaikan.
Sekalipun usaha jarang diapresiasi dan nama tak tercantum di akreditasi alias
credit title, nyatanya sebagian kru film mengaku santai-santai saja. Mereka bekerja tanpa pernah mengeluh.
Pasalnya, pencantuman nama kru—dari
runner, penyedia properti sampai penata cahaya—di
credit title sudah diatur jauh-jauh hari dalam perjanjian kontrak dengan pihak produser.
Hal itu diakui oleh Tino Saroenggalo, sineas lokal yang pernah menjabat sebagai
production manager film Hollywood garapan Ryan Murphy,
Eat Pray Love.Gerilya Kru Film di Balik LayarTino menegaskan, peran kru film di balik layar sangat lah penting bagi keberlangsungan proses syuting. Namun tak semuanya dapat masuk ke dalam
credit title karena beberapa alasan.
"Semua kru film itu penting, semua sama pentingnya. Diibaratkan mereka itu adalah skrup, jika ada yang copot satu, maka semuanya jadi pincang," ujar Tino kepada CNN Indonesia.com ketika ditemui di kediamannya di bilangan Jeruk Purut, Jakarta Selatan, pada Selasa (28/3).
"Namun jika membahas masalah
credit title, itu ada aturan mainnya. Memang idealnya semua kru film harus masuk dalam
credit title, tapi realitanya ada keterbatasan waktu," Tino menegaskan.
Selain keterbatasan waktu, Tino juga menyinggung durasi film serta perjanjian kontrak. Menurut penuturannya, ada kebijakan yang diambil sebuah rumah produksi jika film yang mereka buat berdurasi sangat panjang.
Jika sebuah film memiliki durasi lebih dari 115 menit, maka terdapat dua hal yang dapat dilakukan untuk bisa memasarkan film itu, yakni memotong beberapa bagian film atau meminimalisir bagian
credit title.Lazimnya, opsi ke-dua lah yang digunakan oleh rumah produksi, sehingga mau tak mau harus mengorbankan beberapa nama dari kru film yang akhirnya tak tercantum dalam
credit title."Itu adalah sebuah aturan main yang kita sadari, namun bukan berarti para kru film itu enggak dapat apresiasi," tuturnya.
Walau nama para kru film tak tercantum di
credit title, ada satu cara bagi para rumah produksi untuk menghargai kerja keras mereka. Selain mendapatkan upah, para kru film tersebut bebas mencantumkan nama serta biografi singkat di situs web film seperti iMDB.
"Itu memang sudah menjadi aturan mainnya. Sulit kalau kita mau sok
belain orang kecil [kru]. Semakin kecil peran mereka, semakin besar kemungkinan nama mereka tidak ada di
credit title," ia menjelaskan.
Berkaca pada Asosiasi Perfilman AsingTampaknya masih banyak yang harus dibenahi di dalam dunia perfilman Indonesia, terutama peranan penting sebuah asosiasi perfilman dalam menetapkan standar kerja, seperti apresiasi yang tepat untuk memperjuangkan nasib para kru film.
Hal tersebut dinyatakan oleh Tjandra Wibowo, seorang produser video dokumenter dan film lokal, yang belum lama ini menegaskan bahwa jika Indonesia tak memiliki asosiasi sinema yang mumpuni, diyakini sikap pekerja sinema bakal egois, individual, dan merasa paling hebat.
Asosiasi sinema yang dimaksud Tjandra bisa jadi adalah sebuah jawaban dari apresiasi yang tak didapatkan para kru film di dalam
credit title. (vga/vga)