Jakarta, CNN Indonesia -- Dance Prix Indonesia ke-dua tahun ini digelar di dua kota, Jakarta dan Surabaya, pada pertengahan April 2016. Sebelumnya, kompetisi tari bertaraf internasional ini hanya digelar di Ibu Kota.
Dance Prix di Jakarta berlangsung di Taman Ismail Marzuki, pada akhir pekan ini (16-17/4), berikutnya di Surabaya bertempat di Ciputra Hall, pada akhir pekan mendatang (23-24/4).
Pihak penyelenggara Juliana Tanjo menjelaskan, bahwa ajang kompetisi tari ini digelar sebagai wadah untuk mengembangkan bakat tari balet di Indonesia yang masih sangat kurang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Untuk menjadi wadah murid-murid sekolah balet, untuk menunjukkan bakat dan potensi mereka,” ungkap balerina senior ini.
Para peserta yang mendaftar tahun ini sekitar 400 orang dari berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Bali, Medan, Batam, Surabaya. Ada juga peserta dari negara tetangga, Malaysia dan Singapura.
Menurut Juliana, para peserta akan mengikuti babak eliminasi yang dinilai dari
exercise dan
solo version pada hari pertama untuk diseleksi masuk final dan bertanding kembali pada hari ke-dua.
“Kriteria peniliaian dari teknik,
body alignment, performance, presentasi, dan
musicality,” kata Juliana.
Juri yang dipilih ada tiga untuk masing-masing kota, yaitu Janek Schergen (Singapore Dance Theatre), Natalie Caris (Dutch National Balet) dan Brian Yoo (Universal Ballet Korea) di Jakarta. Juga ada Leticia Foetisch (West Ballet & San Francisco Ballet), Jessica Christina (T.H.E Dance Company) dan Ong Long (Singapore Ballet Academy) di Surabaya.
Di kompetisi ini, penyelenggara membagi ke dalam empat kategori untuk balet dan satu kategori kontemporer, yaitu Junior A (8-11 tahun), Junior B (12-15), Pre Senior (16-19 tahun), dan Senior (20 tahun ke atas).
Kategori balet menampilkan aksi solo, sedangkan kategori kontemporer terbagi dua: solo dan grup. Nantinya para pemenang akan mendapatkan hadiah berupa beasiswa, uang tunai, juga kostum balet dari baju,
stocking serta sepatu.
Menanggapi kompetisi ini, salah satu peserta dari kategori Pre Senior, Gabriella Suhendro, melihat perkembangan tari balet di Indonesia masih kurang dan masih terfokus pada tarian hip hop serta modern dance.
“Perkembangan tari balet kurang, lebih sering hip hop dan modern dance yang disorot dan lebih mendunia, serta digemari anak remaja jaman sekarang. Remaja Indonesia kan sukanya yang hip hop breakdance,” ujarnya.
Guru Balet dari Mainstream of Arts, Murni Makmoer, pun menegaskan dalam kompetisi, para penari balet harus memiliki kepercayaan diri dan karakter yang kuat.
“Mereka harus punya sisi personalnya mereka, membuat sesuatu yang beda, karakter sendiri, untuk pengekspresian diri yang susah, dan dilatih. Tiap tarian punya karakter yang beda dan penari yang bagus dapat memerankan berbagai karakter,” katanya.
Sedangkan
instruktur exercise di babak eliminasi Dance Prix Indonesia, Agatha Pritania, melihat ajang kompetisi sebagai pengenalan bagi orang awan untuk tahu balet yang benar.
“Agar yang buta—tidak tahu balet yang benar atau
balet-baletan—bisa tahu lewat banyak pementasan balet, banyak pertunjukan, banyak lomba seperti ini," kata Agatha.
"Dari finalis siapa, juaranya siapa dan saat ditampilkan mereka akan ‘oh ternyata balet yang bener mungkin seperti pemenang ini’ diharapkannya standar mencapai itu."
(vga/vga)