Singapura, CNN Indonesia -- Dunia seni merespons kejadian demi kejadian dalam kurun 1860-an sampai 1970-an, secara berbeda. Henri Matisse di Paris memunculkan emosi kebebasan dan hedonisme lewat lukisan berwarna hangat. Warnanya didominasi hijau, biru, dan terkadang merah bata.
Pablo Picasso di Spanyol menyentak lewat lukisan perempuan bugil dengan garis-garis tegas. Sosok yang belakangan terkenal dengan kubisme itu mendasarkan idenya pada gagasan Paul Cezanne bahwa seluruh alam bisa direduksi menjadi tiga bentuk: kubus, lingkaran, serta kerucut.
Sementara di Indonesia, gejolak sosial dan politik berpengaruh kuat pada karya seni. Affandi dengan tekstur yang dibentuk lewat "memeletet" cat langsung dari tubanya, menyuguhkan potret-potret penderitaan masyarakat di bawah penjajahan. Petani, rakyat kelaparan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudjojono berbeda lagi. Pelukis yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) semasa komunis itu lebih realis menyodorkan kenyataan lewat garis dan warna yang kuat. Perjuangan misalnya, ia ungkapkan lewat lukisan
Maka Lahirlah Angkatan '66 dan
Seko, Prambanan.Keduanya sama-sama dipenuhi pemikiran kompleks soal kontemplasi sejarah dan perjuangan rakyat kecil bertahan hidup.
Masa-masa itu disebut sebagai babak seni modern, yang dalam pameran National Gallery of Singapore coba kembali dipresentasikan lewat
Reframing Modernism. Pameran yang diselenggarakan di Singtel Special Exhibition Gallery itu dibuka 31 Maret hingga 17 Juli 2016.
Terdapat 217 lukisan karya 51 artis yang berbeda dari Eropa dan Asia. Mereka dipilih berdasarkan kolaborasi kurasi dari National Gallery of Singapore dan Centre Pompidou pusat seni di Paris. Pameran terselenggara setelah dua tahun para kurator berjibaku memilih karya.
Seni Indonesia direpresentasikan lewat lima pelukis: Affandi, Sudjojono, I Gusti Nyoman Lempad, Emiria Sunassa, dan Ahmad Sadali. Mereka bersanding dengan pelukis besar Picasso, Matisse, serta Le Pho, Georgette Chen, Latiff Mohiddin, Tang Chang, Edouard Pignon, Marc Chagall, Andre Masson, dan banyak lagi.
"Jika ingin mengerti seni hari ini, entah itu Barat, Amerika Latin, atau Asia Tenggara, tanpa mengetahui seni modern, Anda tidak akan bisa," ujar Dr. Nicolas Liucci-Goutnikov, kurator dari Centre Pompidou kepada CNNIndonesia.com di Singapura, pada Senin (28/3). Itulah mengapa pameran modernisme diadakan.
"Banyak seniman dulu telah menyiapkan akar dan latar belakang dari apa yang dikerjakan artis sekarang," lanjutnya.
Menariknya, selama kurun waktu seni modern itu, para kurator melihat ada pengaruh satu sama lain antara seniman Eropa dan Asia. Disengaja atau tidak, beberapa garis dan gaya yang dibuat mirip. Seperti yang disebutkan Dr. Eugene Tan Direktur National Gallery of Singapore pada pidato pembukaannya, "Karya mereka saling berelasi, baik secara konsep maupun kesadaran sosial."
Karya Sudjojono, Maka Lahirlah Angkatan '66 misalnya, disandingkan dengan salah satu lukisan Pignon berjudul The Dead Worker. Bukan hanya soal penampilan fisik berupa permainan warna yang tegas dan realis, keduanya punya konsep sama soal kritik sosial fenomena masa itu.
Lukisan Latiff yang berjudul
Pago-pago, berbentuk surealis, disandingkan dengan karya Jean-Michel Atlan yang berjudul
La Kahena. Demikian pula Jean Dubuffet yang salah satu karyanya sangat bertekstur dan mengesankan kedewaan. Mistisme dalam lukisannya juga ada di karya Tang Chang.
Melihat beberapa kesamaan menarik antara pelukis Eropa dan Asia dalam merespons seni modern, Nicolas menuturkan itu bukan soal siapa memengaruhi siapa. "Dalam memengaruhi ada dominasi. Tapi ini saling menghargai, jadi ada dinamisasi," tuturnya menegaskan. Sebab baginya, pameran tak bicara individu.
"Reframing Modernism" mengajak kembali menyelami masa seni modern dengan alur menarik yang dibagi menjadi tiga galeri. Diawali karya Nguyen Gia Tri dan diakhiri Ahmad Sadali, pameran itu membuat pengunjung "tersihir" dengan beragam gagasan dan rasa seni masa itu.
Masing-masing nama punya sekitar lima karya. Mereka bisa dinikmati secara individu dan merasakan kehidupan kembali pelukisnya, maupun secara keseluruhan dan membuat pengunjung paham akan ruh sejati seni modern yang menjadi salah satu fondasi seni kontemporer masa kini.
Memasuki galeri demi galeri dengan total luas hampir dua ribu meter persegi, pengunjung akan dibuat terkesima oleh hasil "percintaan" pelukis Eropa dan Asia Tenggara dalam dunia seni modern. Masing-masing pelukis diberi keterangan detail soal bagaimana gaya dan karakter mereka, serta referensi seniman lain.
"Rasanya ada pendekatan sensitif kepada koneksi mereka. Ada perasaan dalam, yang dengan mudah bisa ditemukan pengunjung saat berjalan melaluinya," ujar Nicolas.
(rsa/vga)