Jakarta, CNN Indonesia -- Menggeluti dunia balet sejak umur tiga tahun, Gabriella Suhendro, mengangap bahwa tarian ini adalah tentang kesabaran. Kini, di usia 16 tahun, ia piawai menampilkan keanggunan tarian balet.
Agaknya bagi sebagian awam yang tak paham, lompatan dan putaran penari balet atau balerina dianggap enteng. Sebaliknya, bagi Gaby, demikian ia biasa disapa, gerakan balet tersebut sulit dilakukan.
“Balet itu belajar sabar, harus banget. Memang tariannya begitu-begitu saja tapi mempraktekkannya sulit, harus sabar,” ungkapnya yang ditemui CNN Indonesia, usai dirinya tampil di hadapan dewan juri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gaby yang ditunjuk gurunya dari sekolah untuk ikut Dance Prix, mengaku hanya mempersiapkan selama satu bulan. Sementara perihal motivasinya mengikuti kompetisi ini, ia merasa sebagai ajang saling kenal dengan penari balet dari sekolah lain, serta membuatnya lebih giat untuk lebih baik.
“Ini ajang di mana penari balet bisa saling kenal, melihat
skill satu sama lain, bisa jadi motivasi sendiri, buat aku juga terutama liat dari sekolah lain bagus bagus, membuat diri aku juga mau
push diri aku lebih,” tutur balerina yang telah dua kali mengikuti kompetisi Dance Prix Indonesia.
Berbeda dengan Gaby, Kevin Julianto, justru menekuni balet karena keisengannya mengikuti ekstrakulikuler saat SMP. Ia bercerita bahwa sejak SD dirinya fokus pada olahraga basket, namun merasa lelah dan mencoba hal baru. Pilihannya saat itu ikut paduan suara atau balet. Karena tak bisa menyanyi, ia mencoba balet.
“Pertama kali saya balet, saya bisa
muter, memang saya suka
muter dan lompat, saat ikuti gerakan itu dan saya suka," katanya.
Setelah itu, Kevin berlatih bersama pengajar balet di Sumber Cipta, dan mengikuti kelasnya sampai sekarang. Tiga tahun terakhir, ia juga mengambil kelas tari kontemporer.
Baginya, menari balet adalah menjadi dirinya sendiri, ia dapat melihat kekurangan dan kelebihan diri, serta mengekspresikan dirinya.
“Saya
diajarin guru saya,
pikirin nari itu bukan untuk
impress orang tapi untuk
exspress perasaan kita. Menari bukan lagu sedih, kita lagi gembira lalu pura-pura sedih, tetapi lebih dari yang kita
rasain lalu di-
blend dengan koreografinya. Itu prinsip tari.”
Kevin yang baru mengikuti kompetisi dua kali selama menekuni balet, yaitu di kategori Contemporary di Dance Prix ini, mengaku adrenalinnya terpacu dan merasakan sensasi yang berbeda.
“Semangat campur gugup campur pengen maksimal, tapi kalau kelepasan tak terkontrol. Hasilnya lebih berasa,
pressure penontonnya, dan lebih intens karena persaingan ini beda dengan pentas, kalau ini kan dinilai dibandingkan dengan yang lain, dan lebih berasa,” katanya yang merupakan satu-satunya laki-laki pada kategori Solo Contemporary.
Sebagai laki-laki yang menekuni dunia tari, membuat Kevin merasa bahwa masih ada "
underestimate" sebagian orang terhadap pilihannya. Meski begitu ia tetap bijak menghadapinya dan membuktikan bahwa seorang penari laki-laki tak seperti anggapan orang bahwa dirinya "kemayu."
“Saya kaget hanya cowok sendiri, saya tahu banyak penari cowok tapi pada enggak ikut [kompetisi], dan sebagai cowok sendiri, saya ingin membuktikan kalau cowok bisa. Banyak juga yang bilang cowok
nari apalagi balet, kemayu lah atau pasti enggak
straight, karena mereka belum tahu dan enggak semuanya kayak gitu,” ujar Kevin.
Ia pun menambahkan, “Orang punya pendapat sendiri karena pengetahuannya kurang dan awam. Balik lagi perkembangan di tari masih jauh, pelan-pelan... dengan ikut pentas, akhirnya mereka mengerti bahwa tidak seperti itu. Teman-teman pun kayak ‘apaan sih lu ikut balet.’ Tapi setelah mereka lihat, pandangannya pun berbeda, tak seperti bayangan mereka.”
Dan bagi Agatha Pritania, instruktur di kelas
exercise dalam babak eliminasi Dance Prix, mengaku bahwa dengan menari balet adalah kerja keras.
“Penari yang bagus sepuluh persen bakat 90 persen kerja keras. Jadi memang latihan dan latihan, ketika berhenti itu akan hilang, memang harus
continuity, memang balet itu kerja keras, serta menikmati apa yang ditarikan dan enjoy dapat sampai ke penonton,” ujarnya
Untuk menjadi penari balet yang bagus, ia menyarankan, harus berani capek, kerja keras, mau dikoreksi, dan tak cepat puas dengan diri sendiri.
“Kalau gampang puas akan malas untuk belajar. Harus membuka mata, bahwa belum ada apa-apanya dengan balet di dunia luar, harus selalu merasa kurang agar tetap mau belajar,”pungkasnya. “Penari balet pun baiknya dimulai dari usia muda tiga tahun, paling telat tujuh sampai sembilan tahun, karena kalau struktur tulang sudah terbentuk jadi susah anak ini untuk lentur,” tambahnya.
Sementara menurut guru balet dari Mainstream of Arts, Murni Makmoer, yang utama adalah harus konsisten karena balet itu disiplin.
“Harus latihan dan latihan dan latihan, karena itu struktur tubuh kita harus belajar bagaimana mengenali tubuh kita sendiri,
balance-nya udah susah kalau sudah lama tak latihan
balance-nya hilang," kata Murni.
"Jadi sebagai penari balet juga punya masa emas, biarpun bagus akan kalah dengan dengan yang muda, karena faktor umur, tulang-tulangnya juga. Masa emas biasanya 15 tahun-17 tahun."
(vga/vga)