Jakarta, CNN Indonesia -- Perkembangan musik Indonesia terbilang baik. Terbukti, banyak musisi dalam negeri yang mengukir prestasi di luar negeri. Namun sayang, pendokumentasian musik Indonesia masih lemah.
Kenyataan ini lantas menggerakkan Yayasan Irama Nusantara untuk mendokumentasikan karya para musisi dalam kurun 1950 sampai 1970. Irama Nusantara didukung pegiat dan penikmat musik David Tarigan.
David tidak sendiri, melainkan didukung beberapa rekan yang memiliki semangat dan niat sama, yaitu Norman Ilyas, Alvin Yunata, Dian Onno, Blas Christoforus, Mayumi Haryoto, Toma Avianda, Ari, Geri, Rian, dan Andreas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai langkah awal, mereka mengubah format rekaman para musisi lawas dari piringan hitam atau kaset menjadi digital, lalu mengunggahnya di situs web iramanusantara.org yang dibangun beberapa tahun belakangan ini.
"Negara kita kaya seni dan budaya, perjalanan musik harus menjadi kebanggaan. Musik menjadi sejarah penting suatu bangsa, kurangnya dokumentasi membuat negara lupa akan rekam jejak," kata Christoforus saat jumpa pers di Jakarta, pada Rabu (1/6)
Terbentuk sejak 2012, Yayasan Irama Nusantara bergerak sendiri dalam mencari harta karum musik Indonesia. Mereka mendapat rilisan fisik dari penjual, koleksi pribadi dan beberapa kolektor lain.
Sampai saat ini, Yayasan Irama Nusantara sudah berhasil mengunggah sekitar 1.500 rilisan dari berbagai musisi Indonesia. Segitu pun masih banyak karya musisi Indonesia lain yang belum mereka temukan.
Hari ini (1/6), Yayasan Irama Nusantara meresmikan kerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dalam mengupayakan pengarsipan dan pendapatan hasil industri rekaman di Indonesia.
Bahu membahu bersama Bekraf, Yayasan Irama Nusantara membuat program Gerakan 78 yang berfokus pada upaya mengarsipkan dan mendokumentasikan piringan hitan berbahan
shellac 78 RPM.Kepala Bekraf Triawan Munaf mengaku, selama ini Pemerintah lengah dan lemah dalam pengarsipan. Ia merasa sangat terbantu dengan kehadiran Yayasan Irama Nusantara yang bergerak lebih dulu.
"Saya berterima kasih kepada pegiat Yayasan Irama Nusantara. Kerja sama ini penting untuk menguatkan pengarsipan karena Indonesia lemah pengarsipan. Padahal sejarah informasi musik kita bagus dan fleksibel," kata Triawan.
Nantinya Gerakan 78 akan berfokus mencari harta karun musik Indonesia mulai era 1920. Mereka harus berhati-hati dalam mengarsipkan piringan hitam
shellac 78 RPM karena bahan yang digunakan tidak sekuat piringan hitam sekarang. Rilisan fisik itu sangat ringkih, bahkan bisa retak apabila kena sentilan jari.
David menjelaskan bahwa saat ini
shellac 78 RPM ditemui di Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI). Gerakan 78 akan menyambangi RRI di Indonesia untuk mendapat rilisan fisik tertua itu.
"Sejauh ini, baru RRI Pulau Jawa yang kami datangi. Kalau ada kebutuhan lebih, kami akan ke luar Pulau Jawa. Sumatra, misalnya. Kami berusaha mengarsipkan semua musik di negeri ini, termasuk musik daerah," kata David.
Selain mendapatkan harta karun dari RRI, Gerakan 78 sudah mendapat rilisan fisik terlebih dahulu dari Haryadi Suadi. Sang kolektor
shellac 78 RPM sudah meninggal, namun pihak keluarganya mengizinkan Gerakan 78 untuk menggunakan peninggalan Haryadi yang kelak berguna bagi masyarakat Indonesia.
(vga/vga)