Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah karya visual, terutama animasi, tidak akan utuh tanpa suara yang berkarakter. Itu disampaikan oleh Wahyu Aditya, praktisi konten visual saat ditemui CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
"Buat saya karya visual itu 50 persennya dipengaruhi oleh suara. Jadi kalau
dubbing-nya enggak menarik, ya kurang menarik," ujar Wahyu.
Di Hollywood, pengisian suara digarap sangat serius sehingga sangat berkarakter. Pengisi suaranya identik dengan karakter yang ia mainkan. Dory misalnya, sangat identik dengan Ellen DeGeneres. Woody di
Toy Story lekat dengan Tom Hanks.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi di Indonesia, menurut Fla Priscilla yang menekuni bisnis pengisian suara selama bertahun-tahun, industri itu belum berkembang. Salah satunya, ia mengatakan, karena industri film animasi belum terlalu besar.
"Jadi lingkup dubber sendiri di Indonesia juga enggak akan berkembang. Di sini perfilman [animasi sesak napas. Ada sih beberapa kayak
Paddle Pop The Movie. Tapi itu pun cuma sebentar dan sedikit," kata mantan vokalis Tofu itu saat ditemui di lain kesempatan.
Soal itu, Wahyu sepakat. Padahal ia melihat potensi yang sangat besar.
"Dari segi konsumennya ada 200 juta lebih, tapi belum ada yang berhasil membuat lengket dengan penontonnya. Itu menjadi PR [pekerjaan rumah]," ujar founder HelloFest itu.
Masih butuh edukasi di bidang itu, terutama soal pemikiran adanya peluang di industri animasi di Indonesia. Selama ini, menurut Wahyu, pelaku animasi Indonesia belum berani membuat
intellectual property. Karyanya selama ini hanya bentuk pelayanan.
"Rata-rata mereka lebih merasa aman membuat animasi itu sebagai bentuk pelayanan, seperti membuat iklan,
company profile, dalam bentuk animasi," ujarnya.
Itu membuat animasi Indonesia defisit konten lokal. Yang dibanggakan sejak dahulu sebatas Si Unyil atau Si Komo, kata Wahyu. "Tidak ada yang bisa dibanggakan lagi, kurang berkembang."
"Di sisi lain," ia menambahkan, "Belum banyak produser animasi yang memiliki pola progresif." Padahal teknologi terus berubah, peluang seharusnya bisa terus tercipta.
"Umumnya produser membuat animasi dijual ke TV. Pada kenyataannya animasi itu bisa jadi ajang promosi tapi penghasilannya dari lisensi," tutur Wahyu melanjutkan.
Ia juga melihat belum adanya komunikasi antara industri pengisi suara dan animasi. Selama ini, pengisi suara di industri animasi masih seadanya, belum profesional. Bahkan seringkali, lanjut Wahyu, pengisi suara film itu juga animatornya sendiri.
"Mungkin karena belum ada komunikasi antara komunitas dubbing dan animasi," ujarnya
Tak harus animasiMeski bisnis pengisian suara identik dengan animasi, sebenarnya industri itu bisa hidup mandiri. Wahyu melihat industri pengisian suara punya jangkauan lebih luas untuk berkembang.
"Karena industri itu bisa mengisi suara untuk film, animasi maupun non-animasi. Animasinya pun bisa dari film luar negeri. Jadi sebetulnya 'kuenya' bisa lebih besar, tidak harus menunggu animasi lokal," ujar Wahyu.
Fla mengakui, di bidang iklan perkembangan industri pengisian suara memang besar.
"Dubber iklan Indonesia paling hits se-Asia, pembuat iklan dari Malaysia dan Singapura banyak yang bikin rumah produksi di Indonesia," kata Fla.
(rsa/rsa)